Karbon menjadi topik yang selalu hangat jika disandingkan dengan sains maju (advance science). Ada banyak jenis karbon yang sudah kita kenal sejak kecil, entah berupa arang bakar, grafit pensil, dll. Seperti yang sudah pernah dibahas pada artikel sebelumnya, ada varian karbon yang bernama grafena (graphene). Siapa sangka, material yang sekarang menjadi primadona di kalangan pegiat material elektronik ini ditemukan secara tak sengaja lho!
Mengutip kalimat Prof. Sir. Kostya (Konstantin) Novoselov, salah satu penemu grafena dari the University of Manchester (UK), “sebuah ide main-main bisa jadi awalan yang sempurna untuk melakukan sesuatu, tapi kamu harus punya intuisi ilmiah yang sangat baik untuk mewujudkan percobaan main-main menjadi sesuatu (yang berguna), atau hal main-main tersebut akan menjadi lelucon untuk selamanya.”
Sebuah pendapat yang unik ya? Tapi kutipan tersebut ia lontarkan bukan tanpa alasan, karena faktanya Prof. Novoselov (saat itu masih postdoc) bersama dengan rekan postdoc-nya di kampus yang sama, Prof. Sir. Andre Geim, secara tak sengaja (2004) menemukan serpihan-serpihan karbon setebal beberapa atom yang akhirnya dikenal dengan grafena. Penemuan tersebut membawa dua peneliti berdarah Rusia tersebut meraih penghargaan Nobel bidang fisika pada 2010. Bahkan, artikel di laman kampus tempat mereka mengabdi pun menuliskan tajuk The ‘accidental’ Nobel Laureates: 10 years on di tahun 2020 lalu.
Dengan bantuan selotip
Kata accidental ini menarik, karena memang proses penemuan grafena ini berawal dari keingintahuan mereka lebih jauh tentang sifat elektrik dari karbon. Saat itu mereka merekatkan selotip polimer bening pada bongkahan grafit, lalu mencabutnya hingga beberapa kali. Sampai mereka mendapatkan serpihan-serpihan lapisan paling tipis dari grafit. Ketika mereka karakterisasi lebih jauh ternyata terdiri atas lembaran segienam karbon selapis. Tak seperti grafit yang terdiri atas atom-atom karbon yang terhubung bertingkat (3D), grafena hanya terdiri atas dimensi panjang dan lebar (2D) dengan ketebalan atomik sekitar 0.345 nano meter (nm). Apa yang mereka temukan saat itu berupa serpihan berdiameter 2 (mikro meter) μm dengan tebal sekitar 30 atom yang berhasil diamati dengan scanning tunneling micrograph.
Memiliki sifat yang superior
Dengan ketebalan tersebut, grafena memiliki sifat-sifat yang tak bisa dibayangkan sebelumnya. Prof. Geim mendefinisikan bahwa grafena adalah material paling tipis yang bisa dilihat (dan dibayangkan) manusia. Grafena memiliki kekuatan (strength) dan kekakuan (stiffness) luar biasa, mudah diregangkan (stretchable), bisa menjadi penghantar listrik dan panas yang sangat baik, pun juga tak mudah terpengaruh secara kimiawi (high chemical inertness).
Aplikasi dari grafena hingga saat ini masih terbatas pada aplikasi teknis dalam laboratorium. Akan tetapi, dalam pengembangannya, grafena telah terbukti dapat menjangkau berbagai bidang, mulai dari penyimpan daya (energy storage), konduktor panas dan listrik, material pelapis anti korosi, bagian dari integrated circuits (IC), material sel surya, display panel, dan beberapa material-bio dan alat-alat medis. Untuk lebih lengkapnya, wise-reader bisa langsung menuju ke artikel jurnal terbitan MaterialsToday (2014).
Menjadi nama inisiasi riset European Union
Sejak tahun 2013, Uni Eropa tengah menggalakkan riset berbasis grafena yang mereka beri nama Graphene Flagship (GF). GF memiliki anggaran yang sangat besar untuk ukuran inisiasi riset bersama. Program ini merupakan gabungan dari 170 institusi akademik dan industri dari 22 negara eropa. Dalam pengembangannya, GF direncanakan akan dijalankan dan dievaluasi untuk kurun waktu setidaknya 10 tahun pasca peluncurannya. Tujuan utama dari GF adalah untuk mempercepat hilirisasi riset berbasis grafena dari skala laboratorium menuju pemanfaatan maksimal untuk masyarakat Eropa. Side effect dari program ini tentunya adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dll.
Sekarang sudah kenal kan apa itu grafena (graphene)? Salah satu material turunan karbon yang tercipta dari ketidaksengajaan dan bermanfaat untuk advance science. Jadi, tak salah dong kalau para pelaku riset tanah air sudah seharusnya semakin melek lagi dengan skema karbonisasi Indonesia. Atau dengan kata lain, melakukan konsep-konsep futuristik untuk hilirisasi produk berbasis riset berbahan dasar karbon. Seperti yang pernah dirumuskan oleh para pegiat material Indonesia beberapa tahun lalu, lewat artikel GNFI dan juga artikel yang dirilis Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) beberapa tahun lalu. Karena sejatinya Indonesia sangat kaya akan sumber daya, baik alam maupun manusia. Apalagi di tengah bonus demografinya, generasi muda Indonesia sudah saatnya bergerak lebih jauh.
Yuk, bergerak bersama!
Leave a Reply