4/10 Questions from 24 Hours QnA (1st-ed)

Ceritanya berawal dari iseng, sejak lama aku ingin nulis satu buku yang isinya tentang topik-topik yang sesuai background pendidikanku: entah dari sudut pandang Material/Metalurgi/Ilmu Bahan/sejenisnya. Tapi karena menurutku untuk menulis sebuah buku belum cukup amunisinya, sampai pada akhirnya kepikiran ide sederhana untuk mengawali tulisan lewat random QnA dari balik Instastory. Demi membumikan ilmu ini dalam bentuk yang lebih sederhana. Dan inilah hasilnya…

Instastory ini kulempar begitu saja di tanggal 29 Januari 2019. Intinya, ini awalan untuk mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan dari yang ringan, sampai yang menguji pengetahuan hingga kesabaran, tentang material, metalurgi, ilmu bahan, atau apapun yang jadi turunannya. Karena menurutku ilmu ini keren, futuristik, dan juga penting untuk diketahui siapapun. Saking pentingnya ilmu ini sebagai dasaran keilmuan teknik (tentunya setelah pengetahuan ilmu dasar matematika, fisika, biologi, dan kimia lho ya), kami para mahasiswa materials engineering semasa S1 sering mengelu-elukan slogan there’s no engineering without materials sebagai bahan arogansi jurusan. Hahaha, intinya sih sebenarnya agar tak terdominasi oleh jurusan pendahulu kami, teknik mesin (di ITS). Tapi, lucu juga kalau diingat. Meski secara tersirat ada benarnya juga lho slogan tersebut. Coba saja tengok, dari mulai teknik sipil, mesin, elektro, arsitektur, perkapalan, perminyakan, pengairan, bahkan hingga desain produk, dan jurusan-jurusan expert lainnya, selalu membutuhkan pengetahuan tentang material, meskipun hanya dasar. Entah yang dasar-dasar itu berupa material logam, komposit, polimer, juga non logam.

Sejujurnya awalan dari tulisan tentang material ini sudah pernah aku publikasikan jauh-jauh hari sebelumnya di tahun 2018 (saat aku masih menempuh jenjang master) di media Kompas[dot]com: Material, Ilmu Futuristik yang Terlupakan di Indonesia. Dan kali ini, kulanjutkan dengan tulisan dari hasil random QnA beberapa waktu lalu. Ok, let’s start our journey…

Pertanyaan di bawah ini aku coba urutkan dari yang paling mendasar hingga aplikatif, dan yang sifatnya pertanyaan opini kutaruh makin akhir.

  1. Apa bedanya polimer dan plastik?
  2. Mengapa baja berkarat?
  3. Material apa yang tidak mudah terbakar, kalau diberi beban tension dan compression tidak mudah mengalami failure? (selain baja)
  4. Pakaian dalam Taiwan dan pakaian dalam Indonesia lebih cepat kering yang mana?
  5. Buat seorang pure materialist, manakah yang lebih penting antara morphology atau performance of materials?
  6. Mengapa kamu hijrah dari biomaterials ke energy storage (baterai)? Bukankah biomaterials lebih asyik diperdalam daripada baterai?
  7. Apakah Artificial Intelligence untuk bidang Material sudah diterapkan di Taiwan?
  8. Kapan Indonesia siap membuat pabrik baterai?
  9. Bagaimana kesempatan kerja dari materials scientist atau materials engineer di Indonesia? Kira-kira perkembangan industrinya seperti apa?
  10. Apa seorang materialist itu materialistic?
  11. (++) Adakah buku non fiksi sebagai tambahan referensi dan motivasi untuk jadi researcher?

POLIMER DAN PLASTIK
Pertanyaan pertama ini mendasar banget. Patut diragukan pemahamannya untuk orang-orang yang ngaku sebagai materialist tapi nggak paham tentang hal dasar semacam ini. Plastik dan material/bahan seperti karet alam (rubber), sutra, kayu, kulit hewan (leather), dan bahkan hingga selulosa adalah jenis polimer. Di mana polimer adalah sebuah material unik yang baru dikembangkan beberapa dekade ke belakang. Sebuah material yang terdiri dari fragmen molekul-molekul kecil bernama monomer yang tersusun bersama-sama, makanya disebut polimer (polymer).

Gambar 1 Tentang pembagian klasifikasi recycled polymer (sumber dari laman isustainrecycling)

Beberapa bahan kain seperti katun, sutra, wol, lalu ada juga karet alam, kayu, dan kulit hewan, merupakan jenis polimer alami. Sedangkan untuk bahan buatan, seperti contohnya: HDPE dan LDPE (bahan-bahan yang biasa digunakan untuk pembuatan tas kresek dan kantong lainnya), polypropylene/PP (ini bahan utamanya T*pperware dan wadah berulang kali pakai lainnya), serta polyethylene terephthalate/PET (bahan utama pembuatan wadah makan/botol air mineral sekali pakai), adalah jenis-jenis polimer sintetis. Dan polimer sintetis inilah yang lebih banyak kita kenal sebagai plastik. Biasanya untuk mempermudah penyebutan, atau memang karena malas mengklasifikasikannya lebih lanjut. Eh, tapi ada juga yang secara spesifik mengklasifikasikan plastik sebagai bahan sintetis semiorganik yang merupakan turunan dari industri minyak dan bahan bakar (petroleum), karena umumnya memiliki ikatan hidrokarbon.
Yang pasti, intinya plastik itu bagian kecil dari polimer ya, dan sebenarnya polimer itu adalah klasifikasi yang lebih umum dari plastik, hanya saja kurang dikenal karena bahasanya yang dianggap terlalu teknik dan tak sering didengar di telinga orang awam. Maklum lah, kan termasuk material baru (iya, baru beberapa dekade lalu, hihihi).

BAJA BERKARAT
Hmm, ini juga pertanyaan yang cukup mendasar, terutama bagi para materialist dan metallurgist. Tapi karena ini ditujukan untuk para pembaca yang bisa jadi berasal dari half-blood materialist atau materialist muggle, jadi tetap wajib dijelaskan dengan baik.

Gambar 2 Karat pada rantai baja (Photo by Thomas Kinto on Unsplash)

Nah, jadi pada dasarnya mengapa baja berkarat adalah diakibatkan dari kondisi alam dari material pembentuknya. Secara sederhananya, baja terbentuk dari campuran berbagai macam unsur yang dilebur menjadi satu sehingga menghasilkan material paduan yang sifatnya mewarisi sifat-sifat penyusunnya. Dan pada umumnya unsur-unsur tersebut berasal dari proses pemurnian dari senyawa alaminya.
Senyawa alami (ore) yang digunakan dalam pemurnian besi biasanya ada Kalkopirit (Chalcopyrite) atau sulfida tembaga-besi, Pirit (Pyrite atau iron pyrite) atau sulfida besi yang biasa juga disebut emas palsu karena warnanya, atau ada juga Pirhotit (Pyrrhotite) atau sulfida besi dengan bentuk lain, dan berbagai macam oksida besi berupa Hematit, Magnetit, dan lain sebagainya.
Nah, sebelum dijelaskan lebih lanjut, tahukan kalian kalau baja ini terdiri dari unsur utama besi (Fe), dan Karbon (C), di mana dalam proses pemaduannya terdapat satu senyawa umum bentukan dari kedua unsur ini yang disebut karbida besi (iron carbide, Fe₃C). Atau kalau di kalangan metallurgist kami menyebutnya sementit (cementite). Jadi, perlu digaris bawahi ya! Bahwa besi dan baja ini berbeda, karena baja itu material paduan yang unsur utamanya adalah besi dan karbon. Sedangkan besi adalah unsur penyusun baja yang memiliki sifat lebih lunak daripada paduan besi dan karbon (baja).
Oke, lalu untuk jawaban mengapa baja berkarat, adalah pada dasarnya secara sederhana di alam besi selalu bersanding dengan oksigen (sebagai oksida), sulfur (sebagai sulfida), dan lain sebagainya. Untuk itulah ketika dia dipaksa untuk berdiri sendiri pasca dimurnikan sebagai besi (meski sangat jarang), juga dipaksa bersanding dengan karbon (menjadi karbida), yang bukan merupakan bentukan alaminya, maka besi ini memiliki sifat yang sama dengan unsur-unsur lainnya yang selalu ingin membentuk kesetimbangannya. Di mana bentuk dan kondisi kesetimbangan besi adalah berupa besi oksida (di lingkungan yang kaya dengan oksigen), atau besi sulfida (di lingkungan yang kaya sulfida, seperti di dalam tangki minyak mentah yang kaya akan Hidrogen sulfida/H₂S). Nah, itulah mengapa karat biasanya mengandung senyawa besi oksida atau besi sulfida, yang menjadi produk korosi utama. Oh iya, jangan bingung ya sama kata “korosi”, karena secara sederhananya, korosi ini memiliki definisi sebagai proses alamiah pembentukan karat pada bahan/material logam.

BAHAN YANG TIDAK MUDAH MENGALAMI FAILURE
Ini level pertanyaannya sedikit meningkat nih guys, karena membutuhkan analisis yang nggak cuma main di definisi aja. Dan karena yang nanya juga seorang master teknik sipil, sudah pasti ini adalah pertanyaan yang menjadi real case di beberapa ranah kerjanya.
Sifat material yang dimaksud adalah tidak mudah terbakar, kalau diberi beban tension dan compression tidak mudah mengalami kegagalan. Ini sebenarnya ada di beberapa jenis baja, tapi karena yang nanya nggak ingin kujawab dengan hanya “baja”, jadi kucoba tawarkan beberapa bahan lain, yang informasi secara detailnya silakan dicari lebih lanjut ya. Oh iya, perlu diketahui, untuk tahan api/tidak mudah terbakar, pada dasarnya baja juga relatif nggak tahan-tahan banget sih karena di bawah 1600 ⁰C doi udah leleh. Dan otomatis kualitas baja udah menurun drastis di temperatur-temperatur nggak sampai melting dong ya (mungkin ini yang membuat si penanya penasaran dengan bahan alternatif lainnya).

Gambar 3 Ini dasar mengapa aku bisa menyatakan temperatur ketahanan baja di bawah 1600 ⁰C (sumbernya ambil dari Wikimedia, dan kalau mau cari sumber lain monggo aja sebagai referensi lanjutan, karena ini umum banget diagramnya)

Oke, jadi bahan yang bisa jadi alternatif ada:
1. Beton (concrete), jelas ini lebih baik dari baja dong ya. Meski pada dasarnya beton kalau di structural materials masih menjadi primadona. Mengapa bisa menjadi alternatif? Ya karena di beton ini bentuknya komposit, atau perpaduan (non-alloy) dari dua jenis material atau lebih, seperti baja, batu, semen, pasir, di dalam beton. Tuh, semua komposisinya tahan api kan? Dan tentunya dengan rasio-rasio tertentu bisa ditingkatkan tuh sifat-sifat tahan failure-nya.
2. Selanjutnya ada Magnesium alloy, paduan Magnesium mungkin bisa jadi alternatif inspirasi, karena untuk ketahanan panas bisa jadi sudah teruji lewat aplikasinya di dunia per-blok mesin-an. Tapi ya gitu, untuk memenuhi requirement tahan kompresi dan tension, perlu ada rasio paduan yang lebih baik lagi, karena pada dasarnya Magnesium ini lumayan getas (brittle). Terbukti dengan hasil penelitian Tugas Akhirku semasa S1, paduan Mg-Fe-Ca ketahanan sifat mekaniknya bahkan tak sebaik tulang manusia. Tapi bisa lah setidaknya jadi referensi.
3. Titanium alloy, paduan ini unik lho! Dan karena keunikannya itu, paduan Titanium masuk ke arah superalloy untuk aplikasi keteknikan advance. Sebagai gambaran, Titanium memiliki ketahanan fracture yang baik, dengan high strength value sekitar 1200 MPa, dan lagi densitasnya juga rendah: 4.51 g/cm³ (relatif lebih ringan dibandingkan baja: sekitar 7.87 g/cm³). Hanya saja kekurangan dari Titanium ini, weldability (susah dilas tanpa bantuan gas tertentu) dan machineability-nya rendah, atau secara sederhananya agak susah di bentuk meski dengan bantuan mesin. Beda dengan baja yang tinggal bubut atau punch udah bisa mengubah bentuknya. Dan lagi, paduan Titanium ini mahal karena permintaannya lagi tinggi banget untuk advance engineering, jadi ya maklum lah kalau dalam struktur bangunan nggak umum memakai paduan Titanium.
4. Atau tetap pakai baja, tapi dilapisi dengan Zinc aja, atau nama bekennya Galvanizing. Kalau di Indonesia sendiri booming dengan Galvalum, atau bisa diartikan kepanjangannya adalah Galvanized Steel (with) Aluminum (parts). Di mana penggunaan baja dengan lapisan Zinc untuk meningkatkan sifat-sifat yang menguntungkan seperti lebih ringan tetapi tetap kuat. Nah, banyak orang (di luar Indonesia) sebenarnya yang ragu dengan metode Galvalum ini karena apa jadinya ketika dua logam berbeda disatukan dalam bentuk bukan lapisan/paduan? Tapi sebenarnya mudah saja menjawabnya, karena Zinc dan Aluminum (yang berperan hanya sebagai part pendukung saja) memiliki electrode potential yang tak terlalu jauh, hanya selisih 0.24 Volt (potensial untuk Zinc: -1.10 Volt dan Aluminum: -0.86 Volt), jadi hanya akan terjadi reaksi kecil di antara Zinc dan Aluminum, sehingga untuk kemungkinan terjadinya korosi cukup rendah di antara keduanya, apalagi secara alami, Aluminum selalu cenderung membentuk lapisan insulasi di permukannya. Itulah mengapa Galvalum sedikit lebih baik dibandingkan hanya baja pada aplikasinya, terutama untuk struktur rumah.
Semoga menjawab ya! Untuk kemungkinan lainnya, bisa kok kita diskusi lebih dalam nantinya…

PAKAIAN DALAM CEPAT KERING
Oke, pertanyaan ini agak sedikit vulgar jika kita tanggapi dengan pikiran mesum. Akan tetapi jika kita tanggapi dengan sudut pandang ilmu material sendiri, sebenarnya indikator cepat kering atau lambat keringnya suatu bahan (terutama dalam konteks kain) itu bergantung dari jenis bahan apa yang terkandung padanya.

Gambar 4 Ilustrasi sub-artikel kali ini, tapi please jangan bayangkan yang aneh-aneh ya! (gambar diambil dari laman herpackinglist)

Secara sederhananya begini, aku nggak akan secara spesifik ke pakaian dalam deh karena pada dasarnya cepat kering atau tidaknya kain faktornya sama saja baik untuk pakaian dalam atau pakaian luar.
Selama ini untuk para produsen pakaian yang memandatkan diri sebagai produsen pakaian cepat kering adalah mereka yang melakukan perbandingan antara kecepatan bahan produksi mereka untuk kering lebih cepat dibanding kain katun maupun wol. Tentunya pada kondisi temperatur dan kelembapan yang diatur sama. Sebenarnya bahan cepat kering bukan berarti akan menyerap keringat lebih cepat, melainkan dia akan memiliki kemampuan mentransfer keringat/cairan dari permukaan yang basah ke permukaan yang lebih kering, sehingga bagian yang awalnya basah akan menjadi lebih cepat kering dan bagian permukaan yang biasanya menghadap ke arah matahari akan menjadi lebih cepat basah. Sehingga efeknya cairan yang mencapai bagian yang menghadap ke arah matahari/sumber panas akan menguap segera, dan kering. Sejauh ini (silakan browsing dan cari tahu informasinya sendiri jika kurang puas) biasanya bahan cepat kering memiliki rasio kecepatan relatif 2:1 dibandingkan katun.
Banyak orang menganggap bahwa bahan cepat kering adalah hal yang “wow”. Padahal secara sudut pandang ilmu material, bahan cepat kering sebenarnya hanyalah perpaduan antara teori pemintalan kain konvensional (atau terkadang juga masih menggunakan beberapa persen kain konvensional: katun dan wol) dengan bahan kain sintetis. Sehingga menghasilkan kain cepat kering yang mampu memiliki fungsi bermacam-macam, yaitu sebagai kain penutup tubuh, juga memiliki kemampuan menyerap keringat/cairan yang rendah (jika bingung, perhatikan mekanisme konsep pengeringan di paragraf sebelumnya), memiliki kemampuan tembus udara yang tinggi (high permeability), juga secara otomatis juga anti air. Mengapa anti air? Ya karena kalau hidrofilik, malah susah untuk mentransfer keringat/cairan ke sisi permukaan lainnya dong. Padahal kan tujuan utamanya itu agar mempercepat proses pengeringan/penguapan cairan yang ada padanya.
Hihihi, jadi untuk pakaian dalam Taiwan dan Indonesia lebih cepat kering yang mana, silakan dicek saja bahannya ya! Kalau bra atau pants kalian dari bahan katun, dan kecepatan keringnya dibandingkan dengan bahan yang semi sintetis, atau yang full sintetis, jelas lebih cepat kering yang kedua dan ketiga dong ya, mau kalian belinya di Indonesia, Taiwan, Mesir, USA, Inggris, atau manapun juga.

To be continued >>>