2018 is one of my special
year . Besides this year is my last moment toward the quarter-life crisis age, also many precious things happened there. So, here it is, the flashbacks!!!
After 6 years, here’s the Achrodiag
Tahun ini jadi salah satu tahun paling spesial karena anak pertama hasil perkawinan antara imajinasi, secuil ilmu sains, dan karakter-karakter penokohan yang aku idam-idamkan bisa tercipta. Setelah enam tahun lalu cerita di dalam Achrodiag Universe hanya berada dalam angan-angan belaka. Plot lengkapnya berhasil ditulis dalam kurun waktu satu tahun (di 2013), sebelum pada akhirnya harus lenyap bersama hilangnya laptop-jaket MATRICE–buku fisik Materials Science and Engineering: An Introduction, 8th Edition-semua catatan kuliah S1 sejak semester satu-semua arloji pemberian mantan (yang sengaja akan dimuseumkan karena sang pemberi tak berkenan jika dikembalikan)-dan banyak hal-hal lain yang berada di dalam satu tas diambil secara tidak bertanggung jawab oleh beberapa orang pencuri.
Tapi, menyerah bukan jalan yang kupilih saat itu, hingga pada akhirnya di 2015, 60% plot cerita Achrodiag Universe berhasil ditulis ulang, dan dicetak seadanya menggunakan tinta hitam-putih. Wow, mulus bukan?
Eit, jangan salah, tidak semudah itu ferguso!
Karena ternyata menjelang tahun 2017 cobaan kembali datang. Laptop yang berisi seluruh data-data penting sejak S1 hingga data di awal-awal tahun S2 diinvasi oleh virus pengganggu, dan memaksaku untuk melakukan reinstall OS secara total beserta software di dalamnya. Alhasil, storyline dari petualangan awal Arrez, Feno, Zera, dan Bobby harus ikut pergi bersama data yang hilang. Beruntung, di pertengahan summer tahun yang sama, aku pulang ke Indonesia untuk berlibur, dan menemukan harta karun berharga: si 60% plot cerita yang sempat kucetak di 2015. Dari sanalah semangatku datang lagi, kemampuan menulis ulang cerita dengan berbagai macam penyesuaian zaman yang sedikit mengalami gap selama 6 tahun ke belakang harus dievaluasi demi kecocokan cerita dengan tahun target penerbitan. Akhirnya, pada pertengahan bulan Maret 2018 novel pertama Achrodiag Universe yang berjudul Achrodiag: A Story about Soul and Mind berhasil terbit. Bekerjasama dengan Gramedia Digital, penerbit Bitread pun mampu membuat novel ini bertengger di dalam list e-book yang dapat dibeli dan diakses dari platform tersebut.
Semoga di tahun-tahun mendatang, cerita petualang dari tokoh-tokoh dalam Achrodiag Universe bisa berlanjut ke buku kedua 🙂
Lahirnya Hernandha.co.id
Setelah sepuluh tahun memutuskan untuk rutin cuap-cuap via blog Pujangga Tanpa Inspirasi yang mulai dibuat pada awal 2008 (saat aku masih berseragam putih-biru dongker dan bercelana pendek), akhirnya aku memutuskan untuk me-rebranding media menulisku menjadi sebuah platform yang lebih serius dan premium. Selain untuk mendukung area diskusi yang lebih dewasa dan profesional, lahirnya web ini juga untuk memuluskan usaha promosi buah tulisan yang telah beberapa kali kuterbitkan, baik berupa antologi, novel kolaborasi, maupun novel tulisan sendiri.
Oh iya, proses mendapatkan domain Hernandha.co.id tidak berada pada jalur instan dan ujug-ujug (maksudnya: tiba-tiba) lho. Karena sebelum memutuskan untuk memilih domain ini, aku mencoba mengikuti saran dari seorang kawan semasa kuliah S1, yaitu mengikuti seleksi pendaftaran program pemerintah. Kala itu sedang booming gerakan SatuJutaDomain yang diprakarsai oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI). Alhasil, aku mencoba peruntungan untuk mendaftarkan diri melalui program tersebut, dengan kategori komunitas, yang arah geraknya adalah forum diskusi positif (dengan klaster topik utama Material) serta platform jual-beli karya sendiri berupa tulisan yang diterbitkan berupa buku/novel. Ribet sih prosesnya, tapi setelah penantian yang cukup panjang, alhamdulillah di 22 Mei 2018 untuk pertama kalinya domain ini berhasil mengudara hingga sekarang.
Semoga di tahun-tahun mendatang platform ini bisa menjadi lahan karya positif, serta ladang pahala bagi siapapun yang memanfaatkannya dengan niat baik untuk menebar kemanfaatan 🙂
#KotakAjaib reached Japan
Untuk pertama kalinya, harapan untuk mengunjungi Negeri Sakura tercapai secara misterius. Tanpa disangka dan diduga sebelumnya, hanya perlu tiga hari untuk mempertimbangkan, minta izin Professor, sekaligus mengurus dokumen keberangkatan.
Jadi sebenernya ngapain sih ke Jepang?
Jalan-jalan kah?
Bukan kok, bukan, kelihatannya aja sih kaya jalan-jalan selama empat hari tiga malam ke Jepang bareng orang-orang asing yang baru saja dikenal dan berusaha akrab selama beberapa hari menjelang “pelantikan”. Percayalah, di balik itu semua ada sebuah amanah besar yang harus diemban dari salah satu lembaga independen dan kredibel milik Republik Indonesia yang dititipkan melalui sumpah di bawah naungan kitab suci Al-Qur’an.
Apakah itu?
Yuk pindah ke section selanjutnya!
Anggota termuda, si penentu arah kerja
“Jadi siapa yang kita ajukan sebagai ketua?” tanya ibu Mulyansari (42), selaku kepala Sekretariat Panitia Pengawas Pemilihan Umum Luar Negeri (Panwaslu LN) Taipei, yang ranah kerja pengawasannya meliputi seluruh wilayah Taiwan, baik pulau utama maupun pulau-pulau kecilnya.
“Saya di bagian cuap-cuap aja ya, sama kaya lima tahun lalu. Udah, mas Ocha aja deh,” ujar mbak Farini Anwar (47), seorang penyiar profesional di Radio Taiwan Internasional.
“Ya sudah, karena kita berdua di sini sudah pada paham dengan medan yang dihadapi, apalagi saya dulu (5 tahun lalu) mantan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Taipei juga, jadi sudah cukup berpengalaman untuk jadi supporting system. Gimana kalau mas Ozha aja? Kita manut apapun arahan kerja ketua nantinya,” kata bang Amran Purwata (41), seorang WNI perantau asal Sumbawa yang telah mempersunting istri berkewarganegaraan Taiwan dan sukses berkarir settle di Taiwan.
Dari secuil percakapan yang berlangsung di aula gedung KBRI Tokyo (di daerah Shinagawa-ku) itulah pada akhirnya diputuskan bersama bahwa si anggota termuda ini yang harus memimpin arah gerak sebuah organisasi Ad Hoc yang memiliki masa jabatan satu tahun (atau lebih, tergantung hasil pemilihan umum capres-cawapres di tahun 2019 nanti, hanya berlangsung satu putaran atau dua putaran).
Jadi, apa yang spesial?
Kalau kalian baca tulisan ini dari awal, pasti tahu berapa usiaku. Dan here it is, untuk pertama kalinya dalam satu tim, aku harus memimpin orang-orang yang jauh lebih berpengalaman, lebih “berumur”, dan bahkan harus memberi arahan instruksi kepada mereka. And, wow! Sudah lewat dari usia 8 bulan kami bekerja sama, tak ada satupun perintah dan arahan kerja dariku yang tidak dieksekusi dengan matang oleh mereka. Terima kasih my super team!!! Berkat kalian, Panwaslu LN Taipei mendapat pujian dari Sekjend Bawaslu RI, bapak Gunawan Suswantoro atas kinerja kita yang menurut beliau selalu bisa menjadi panutan. Begitupun terkait koordinasi dengan PPLN Taipei dalam penentuan DPTLN final di Desember 2018, anggota Bawaslu RI, bapak Zaid Muhammad menyampaikan apresiasi tinggi terhadap kinerja kolaborasi yang dipelopori oleh Panwaslu LN Taipei. Bahkan, surat keputusan kami menjadi trigger bagi Panwaslu LN dari negara-negara lainnya agar membuat hal serupa.
Semoga di sisa masa kerja kita, empat bulan ke depan, prestasi kita selalu meningkat ya!!!
Wisuda, tapi bukan “wis udah !
Masih ingat posting fenomenal tentang seorang mahasiswa teknik lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang gagal wisuda di 2016? Kalau belum baca, coba deh ke sini dulu! Lalu bisa berlanjut ke sini, dan ke sini deh.
Finally, di tahun ini aku merasakan bagaimana rasanya wisuda. Meski nggak diarak kaya di ITS. But, at least, rasa bagaimana memakai toga dan topi wisuda di acara kelulusan yang (nggak) literally wisuda, sebenarnya. Karena di sini, biasanya untuk Master lebih sering wisuda duluan dengan sidang thesis dilakukan belakangan.
Yah, intinya aku bersyukur kepada Allah SWT, bahwa cita-cita untuk menyelesaikan kuliah master di bidang Materials Science and Engineering selama dua tahun tepat, bisa terlaksana. Tentunya dengan banyak sekali percabangan-percabangan realitas jalur tempuh selanjutnya. Dari mulai tawaran kerja dari perusahaan yang proyeknya kukerjakan, hingga dua perusahaan bonafide yang lain (off the record) dengan range gaji di atas 45 ribu NT$ per bulan. Sampai adanya pengumuman penerimaan studi lanjut PhD dari dua kampus berbeda, National Central University dan National Chiao Tung University. Yang pada akhirnya kupilih jalur untuk hijrah ke kampus Hsinchu, yang ranking departemennya (Materials Science and Engineering) lebih tinggi dari kampusku sebelumnya.
Sorry to say, bukannya ingin merendahkan reputasi kampusku saat master, akan tapi realitanya demikian. Meski rasa bangga dan syukurku tetap tersemat dalam hati karena berhasil lulus dari kampus yang departemen Materials Science and Engineering-nya terdeteksi di peringkat dunia (setidaknya lebih baik dari kampusku saat S1, hehehe, tanpa mengurangi kebanggaanku terhadap kampus ITS lho ya) 😛
Satu bulan berperan sebagai postdoctoral
Pekan pertama
“Tolong selesaikan draft ini segera ya!” pinta Professor.
“Deadline–
“Akhir Desember 2018 harus sudah beres ya, nanti Purna akan bantu kamu proofreading dan finishing.”
“Siap! Saya akan bantu!” ujar salah satu postdoctoral yang ditunjuk Professor dalam membantu penyelesaian proposal riset di pengajuan pendanaan kepada Taiwan Ministry of Science and Technology untuk anggaran tahun depan (2019).
Pekan kedua
“Masih banyak nih revisinya, kamu coba ubah lagi outline-nya sesuai contoh ini,” perintah Professor sembari menyerahkan contoh proposal MOST tahun lalu, dalam bahasa Chinese sambil menjelaskannya sekilas.
“Iya, sepertinya saya juga merasa banyak yang ganjil. Dia perlu lebih fokus dalam menyusun kalimat per kalimat, untuk lebih menciptakan kesinambungan di tiap paragrafnya,” ujar sang postdoctoral.
“…..” pasrah, karena pikirku untuk proposal ini aku masih dalam tahap belajar dan belum berpengalaman sama sekali. Tak familiar dengan formatnya, apalagi dengan alur bahasa yang harus digunakan.
Pekan ketiga
“Hey, mengapa wajahmu nampak sumpek?” ujar salah satu kawan Mesir dari departemen lain saat bertemu di mushalla.
“Ini, proposalku masih revisi terus nih. Pekan ini sudah masuk revisi ke-6,” jawabku malas.
“Proposal apa?”
“MOST”
“Hey! Yang benar saja, penyusunan proposal MOST itu tak mudah. Bukan ranah PhD untuk menyelesaikannya. Itu tugas postdoc dan Professor,” tukasnya tak sepakat.
“Oh iya? Tapi kata Professorku, aku harus bertanggung jawab untuk menentukan arah riset di topik ini, karena background risetku yang paling kuat. Dibandingkan anggota lab lainnya. Jadi ini semua ranah postdoc?” tanyaku masih ragu.
“Iya! Coba saja tanyakan pada Professormu!” jawabnya lagi.
“Wah, jadi revisi yang kukerjakan selama ini seharusnya bukan tugasku ya?” gumamku dalam hati.
Pekan keempat, waktu di mana revisi kedelapan berhasil kuselesaikan
“Ini hasil revisi final dari saya, Prof. Kata Purna dia sudah menyelesaikan detail finishing-nya,” ujarku memancing.
“Wah, bagus! Nanti saya cek. Btw, terima kasih ya karena telah bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan proposal ini hingga sejauh ini. Karena sebenarnya proposal ini adalah tugas dari postdoc dan saya. Tapi saya terlalu sibuk, dan postdoc kita tak ada yang memahami Silicon secara detail. Jadi, bagi saya kamulah orang yang tepat untuk mengemban tugas drafting proposal ini. Sekali lagi terima kasih!” ujar Professor menjelaskan.
“…..” aku, speechless.
“Hehe, iya. Dulu aku saat PhD juga nggak pernah bikin proposal kaya gini, karena yang menyelesaikan adalah postdoc di labku. Aku hanya pelaksana hasil jadi proposalnya saja hingga menjadi riset komprehensif sampai rilis papernya,” tambah si postdoc.
“…..” sekali lagi aku speechless. Merasa dibohongi, diperalat, dan juga ditipu mentah-mentah. Harus melaksanakan tugas yang seharusnya bukan menjadi tugasku. Hingga eksperimen lapanganku terbengkalai selama satu bulan.
Tapi…
“Tapi kamu sudah sangat baik dalam melakukan pembelajaran ini, tulisan kamu berubah secara signifikan menjadi lebih readable dan berkualitas, hanya dalam waktu satu bulan. Dengan kondisi: ini adalah pengalaman perdanamu menyusun proposal sekelas MOST yang memang susah. Selamat ya!” imbuh Professor.
“Iya, tulisanmu makin oke di pekan keempat ini,” seloroh si postdoc.
“Baik Prof, terima kasih. Saya tunggu hasil approval-nya. Semoga tidak ada revisi lagi setelah ini, saya permisi…” jawabku sambil pamit undur diri.
Kecewa? Jelas, bagaimana bisa tidak merasa kecewa ketika sebuah tugas yang diembankan padaku adalah bukan yang seharusnya menjadi tugasku. Meski memang ada benarnya, aku belajar banyak dari penyusunan proposal ini. Proses pengumpulan sumbernya, proses membaca dan memahami paper journal secara lebih cepat dan efektif, hingga proses mengumpulkan kesabaran dalam memanajemen kebosanan di tengah pengerjaan revisi yang tak seperti seharusnya (efek sifat perfeksionis Professor).
“Ya, kurasa ada manfaatnya juga kok. Tak apalah, setidaknya aku bisa menjadikan mission almost impossible ini menjadi pembelajaran tentang bagaimana rasanya menjadi postdoc dalam sebulan. Tentunya degan selingan harus menghadapi ujian tengah semester, quiz, dan juga persiapan menuju final examination,” gumamku lagi, dalam hati.
Hingga akhirnya…
“Ok, your works are good! Thank you for your help,” begitulah pesan singkat yang kubaca dari kolom chat LINE dari Professor, yang menandakan bahwa revisi ke-8-ku diterima dengan tanpa tambahan beban revisi selanjutnya.
Dan selanjutnya, mari melangkah ke pekerjaan berikutnya: eksperimen, dan persiapan belajar menuju final examination semester pertamaku di jenjang doktoral.
Please, wish me luck!!!
Finally, in my December I have a bigger life decision!
Apakah itu? Tunggu tanggal mainnya di tahun depan ya!!!
See you next year, selamat mencoret resolusi-resolusi di tahun 2019…
EPILOG
Tiap tahun itu layaknya anak tangga, jika anak tangga dan segala resolusi sebelumnya tak terjamah, bisa jadi anak tangga selanjutnya tak bakal semulus perkiraan awalnya. Jadi sudah berapa coretan yang mendarat di resolusi 2018 kalian? ???
Kalau buatku akhir tahun ini saatnya berintrospeksi, dan tentunya mempersiapkan rencana untuk menghadapi resolusi the quarter life crisis moment, usia 25 di tahun depan, atau justru mempersiapkan untuk agenda di bulan Dzulhijjah 1440 Hijriyah *eh.
Who knows lah ya…
Leave a Reply