Cuap-cuap Materialist tentang Teknologi Pengisian Daya Nirkabel

Teknologi pengisian daya nirkabel, atau yang populer dikenal dengan Wireless Charging tak kalah booming dari Fast Charging Technology. Kalau di artikel sebelumnya kita sudah mencoba mengulas tentang teknologi pengisian daya cepat (fast charging), maka kali ini kita coba beralih pada topik viral lainnya di dunia pengisian daya. Tapi balik lagi ya, disclaimer-nya disampaikan di awal: artikel ini akan berfokus pada wawasan tentang wireless charging dari sudut pandang Materialist, bukan Electrician, Physicist, atau ilmu-ilmu lain yang memang mempelajari topik ini dari sudut pandang fenomena kelistrikan.

Jadi, apa sih pengisian daya nirkabel (Wireless Charging) itu?

Wireless Charging adalah suatu teknologi pengisian daya yang pada dasarnya memanfaatkan sistem inductive power transfer (IPT). IPT adalah sebuah mekanisme transfer daya dari sumber listrik (grid), biasanya berupa colokan/socket, menuju penyimpan daya tanpa medium apapun (kecuali udara) yang memungkinkan listrik dapat dihantarkan melalui jarak yang cukup jauh. Sistem ini menggunakan teknologi induksi dari gelombang elektromagnetik berfrekuensi tinggi dari lilitan transmitter menuju receiver (penerima) ketika gelombang elektromagnetik tersebut melalui lilitan-lilitan (biasanya berupa kawat tembaga). Hingga akhirnya, listrik yang diterima dari receiver dapat diterima oleh baterai. Lupa dengan sistem kerja baterai? Coba cari tahu dari artikel sebelumnya deh, untuk mempermudah me-review ingatan. Secara sederhana, ditunjukkan dengan visualisasi berikut:

Sistem inductive power transfer (IPT) secara umum (sumber: salah satu artikel dalam 2018 International Conference on Intelligent and Advanced System/ICIAS)

Nah, terus awal mula dari IPT ini gimana sih ceritanya?

Kalau urusan sejarah dari teknologi ini, bisa-bisa kita ditarik jauh ke tahun 1888 dan 1906, saat itu Nikola Tesla menghabiskan waktunya untuk meneliti dan mencari cara agar listrik dapat ditransmisikan tanpa kabel/perantara. Wow, lama juga ya? Bahkan penulis aja belum direncanakan di tahun-tahun itu. Menurut sumber, New York City baru saja membangun sumber listrik (grid) pertama di dunia pada tahun 1886, yang hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil wilayah Amerika. Akan tetapi, ambisi visioner dari Nikola Tesla berusaha ia wujudkan melalui pembuatan Tesla Tower. Tesla Tower adalah sebuah kumparan besar (berupa lilitan kabel tembaga) yang dihubungkan pada sebuah menara setinggi 200 kaki (sekitar 60.96 meter) yang dilengkapi sebuah bola berdiameter sekitar 0.91 meter. Pada alat tersebut, Tesla mengalirkan sekitar 300 KW daya listrik ke dalamnya dan kumparan menghasilkan frekuensi 150000 Hertz.

Tesla Coil, melalui penelusuran Google webcache (sumber: Griffith Observatory)

Oke oke, cukup sekian tentang ulasan sejarahnya. Kini kita beralih pada sistem yang ada pada wireless charging. Saat ini di dunia ada sekitar tiga standar konsorsium besar yang menerapkan sistem utama dalam wireless charging. Diantaranya ada Qi Standard, Airfuel (sebelumnya bernama Power Matters Alliance), dan A4WP (Alliance for Wireless Power), di mana untuk Qi dan Airfuel masih berada pada kondisi persaingan pasar perangkat portable, sedangkan A4WP belum memiliki produk komersial, meski telah menggabungkan diri dengan aliansi serupa bernama PWA.

Siapa sangka, dalam hal ini semboyan there is no engineering without materials masih secara konkret terbukti. Bagaimana tidak, untuk mendapatkan sistem yang solid dalam teknologi IPT, selain kumparan (berupa lilitan logam tembaga) dan sumber listrik (grid), ada satu material unik yang dikenal dengan ferrite. Jika wise-reader yang tengah membaca artikel ini adalah seorang materialist atau metallurgist, bisa jadi sudah familiar dengan istilah tersebut. Karena memang ferrite adalah bagian dari metal phase yang selalu muncul pada diagram fasa (terutama Fe-Fe₃C). Tapi dalam IPT, ferrite memiliki sedikit perbedaan definisi. Dalam diagram fasa Fe-Fe₃C, ferrite memiliki definisi sebagai salah satu allotrophy (bentuk lain) dari Fe yang stabil pada temperatur ruangan dan tekanan 1 atm: α-Fe. Sedangkan ferrite yang dimaksud dalam IPT (sejauh pendekatan definisi yang dilakukan oleh penulis) memiliki definisi lain yang sedikit lebih umum dan tidak terkhusus hanya pada Fe: yaitu jenis dari material keramik-oksida yang memiliki sifat magnetik secara permanen, yang terjadi pada material padat dan biasanya memiliki/menghasilkan medan magnet tertentu.

Lalu, apa fungsi dari ferrite?

Jika wise-reader sempat melakukan penelusuran pada artikel yang ada pada 2018 International Conference on Intelligent and Advanced System/ICIAS di atas (coba dibaca aja pelan-pelan, lumayan mudah dipahami kok artikelnya), pasti memahami Ferrite dalam IPT adalah suatu bagian yang berfungsi untuk meningkatkan induksi medan magnet (penguat) serta sebagai shielding interference dari kumparan, baik yang ada pada transmitter maupun receiver, karena sifat magnetiknya (ferrimagnetic).

Then, untuk efek wireless charging ke kinerja baterai seperti apa?

Well, nggak jauh berbeda sih sebenarnya dengan wire-based charging. Hanya saja, jika di wire-based efisiensi dalam proses charge-discharge hanya ditentukan dari material anoda dan katoda (serta mungkin elektrolit), maka pada wireless charging juga ditentukan dari jarak jangkauan antara sumber kumparan (transmitter) dengan alat-alat portable kita. Contohnya smartphone atau laptop. Karena faktanya, pada perkembangan teknologi saat ini, wireless charging system masih memiliki kekurangan di efisiensi. Hingga saat ini untuk Electric Vehicle yang menggunakan wireless charger memiliki kisar efisiensi charge-discharge sekitar 90-95%, karena memang jarak antara transmitter dan receiver telah ditetapkan sesuai dengan jarak antara charger dengan chassis bagian bawah kendaraan.

Wireless charging system secara umum untuk Electric vehicle (sumber: salah satu artikel dalam 2017 International Conference on Green Energy Conversion Systems/GECS)

Sedangkan untuk alat-alat elektronik portable berada pada kisaran 75-85% (beberapa alat mengklaim mampu di atas 90%), hal ini karena pengaruh jarak antara transmitter dan receiver yang tak pasti. Jika charger mat/charger pad ada pada kondisi diam dan smartphone kita taruh di atasnya, mungkin efisiensi akan menjadi lebih tinggi.

Gap-less model untuk wireless charging system untuk smartphone yang diperuntukkan bagi pengguna mobil BMW 2 Series (sumber: Car Qi Wireless)

Akan tetapi jika nantinya di masa depan wireless charger diperuntukkan untuk menjangkau area dengan luasan tertentu: free-range wireless transfer, yang akan memungkinkan terpasang di setiap fasilitas umum, maka bisa jadi efisiensinya kurang dari 75%. Karena frekuensi yang tertangkap oleh transmitter pada portable devices kita akan fluktuatif (tak tentu), apalagi jika adanya perpindahan.

Memang efeknya apa jika fluktuatif?

Kalau kita pandang dari alur kerja baterai, jelas akan ada kondisi di mana dorongan untuk mengalirkan ion Lithium (kita menggunakan analogi baterai yang saat ini paling banyak digunakan) akan fluktuatif juga. Dan jelas, secara otomatis mekanisme charge-discharge tak lagi sama seperti proses yang terjadi saat kita melakukan charge dengan kabel saat daya baterai habis, dan membiarkan baterai dengan sendirinya ter-discharge, memanfaatkan reaksi reversible alami yang memang seharusnya terjadi. Terlebih lagi, secara implisit frekuensi fluktuatif tersebut juga turut membiarkan proses charge-discharge berjalan dengan kondisi efisiensi rendah, di mana penuhnya daya baterai kita akan tergantung juga dengan faktor efisiensi penerimaan daya dari charger-transmitter menuju receiver yang tertanam di smartphone kita (selain ditentukan dari internal component: anoda, katoda, elektrolit, dll). Sehingga sistem pengisian daya yang kita lakukan pun efisiensinya menurun.

Teknologi free-range wireless transfer memanfaatkan quasistatic cavity resonance, diaplikasikan pada salah satu area di Disney Research (sumber: New Atlas)

Oke jika kita berandai-andai di masa depan teknologi wireless charging telah mampu menghasilkan frekuensi yang stabil berapapun jaraknya (asal masih dalam satu area tertentu), kira-kira masih adakah drawbacks yang berpotensi mengganggu kesehatan baterai portable devices kita?

Jelas ada!
Kalau para wise-reader mencermati artikel sebelumnya tentang mekanisme pengisian daya, pasti akan langsung sadar. Bayangkan jika di rumah kita telah melakukan pengisian daya pada baterai smartphone kita secara optimal (semisal 80%). Lalu kita bawa keluar rumah, di mana di luar telah banyak ter-install perangkat transmitter dari wireless charging yang mampu melakukan proses charging nirkabel pada smartphone kita.
Apa yang akan terjadi?
Baterai smartphone kita akan secara otomatis ter-charge secara terus menerus, berada pada kondisi potensial maksimumnya, di mana anoda akan terisi penuh dengan ion-ion Lithium yang menjadi penyangga pada stack-stack grafit (anoda komersial saat ini). Sehingga efeknya LCO (katoda komersial yang paling banyak digunakan saat ini) akan terus dalam kondisi kehilangan ion Lithium, dan grafit akan terus menerus renggang karena celahnya diisi oleh ion Lithium. Kondisi ini akan memperpendek umur baterai kita jika dilakukan secara berulang-ulang.

Terus terus?

Ya sudah, kira-kira begitulah bayangannya. Pada setiap teknologi yang kita ciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia di masa depan, akan selalu ada efek positif dan negatifnya. Belum lagi jika dalam konteks wireless charging ini kita hubungkan dengan efek yang ditimbulkan dari frekuensi transmitter-receiver terhadap perkembangan tubuh kita untuk jangka panjang. Apalagi jika nantinya perangkat wireless charging ini terpasang di mana-mana.
Tapi meski begitu, bukan berarti wireless charging technology ini sepenuhnya buruk atau juga berbahaya, karena kita juga masih belum bisa memastikan, apakah di masa depan akan tercipta teknologi lain yang mampu menanggulangi drawbacks yang ada pada wireless charging ini.

Oke, sekian dulu artikelnya untuk kali ini.
Stay wise!