“Sekitar sepuluh tahun yang lalu mungkin teknologi battery management belum optimal diaplikasikan, bahkan sampai sekarang pun masih belum maksimal. Siapa yang bisa memastikan jika teknologi yang kita gunakan saat ini sudah 100% baik? Itulah mengapa kita wajib mengaplikasikan ilmu battery management secara cerdas dan sesuai teori yang benar. Seperti ‘jangan melakukan pengisian daya semalaman’ atau ‘tak membiarkan baterai smartphone kita habis hingga di bawah 10%’ misalnya,“ ujar Prof. Jeng-Kuei Chang, peneliti di bidang baterai, superkapasitor dan elektrokimia di National Chiao Tung University, dalam ulasannya menutup kuliah Materials for Energy Storage and Conversion Device.
Beberapa waktu yang lalu santer terdengar bahwa pemerintah Indonesia tengah melakukan upaya untuk mengakselerasi teknologi perbateraian tanah air. Dimulai dari berbagai simposium, workshop, dan forum-forum ilmiah yang dilakukan oleh peneliti-peneliti Indonesia. Utamanya yang digawangi oleh Konsorsium Nasional Baterai Lithium oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Lambung Mangkurat, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), dan Kementerian Perindustrian sejak tahun 2012. Selain itu dibentuk pula Konsorsium Perguruan Tinggi, yang terdiri dari peneliti-peneliti dari UI, UGM, ITS, ITB, dan Universitas Sebelas Maret (UNS), serta LIPI, dan BPPT di tahun yang sama demi menggenjot pencapaian program mobil listrik nasional yang mengacu pada road map yang dicanangkan oleh Presiden RI. Selanjutnya, demi menggarap realisasi proyek baterai berkapasitas 200 Wh/kg serta peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) baterai nasional agar dapat mencapai 20 persen di tahun 2014, LIPI, BATAN, UI, ITS, bekerjasama dengan PT. Nipress kembali membentuk Konsorsium Riset Baterai pada tahun 2013. Hingga akhirnya, wacana adanya pabrik baterai di Indonesia bisa jadi akan segera terealisasi dengan adanya prosesi ground breaking yang dilaksanakan pada 11 Januari 2019 di area Indonesian Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan di berbagai media.
Cerita panjang di balik akselerasi pengembangan teknologi baterai di Indonesia telah tiba pada pintu gerbang aplikasi teknis, utamanya setelah adanya kabar dimulainya pendirian pabrik baterai di tahun ini. Tapi, sebelum kita terlalu tenggelam ke dalam teknologi baterai yang lebih kompleks dan memiliki banyak percabangan rumit, alangkah lebih baik jika kita terlebih dahulu memahami cara kerja baterai secara sederhana, terutama dalam proses pemakaiannya dalam kehidupan sehari-hari, agar nantinya saat perkembangan teknologi baterai Indonesia sudah matang, kita bisa menjadi pengguna yang cerdas dan terampil dalam memanfaatkan produk baterai.
Baterai komersial yang paling banyak digunakan dan disematkan dalam perangkat mobile electronic kita hingga saat ini adalah jenis Lithium-ion Battery (LIB). Di dalamnya, terdapat tiga komponen utama yang menjadi tulang punggung dari energi listrik yang dihasilkan dari proses perubahan energi kimia di dalamnya, yaitu dua elektroda berupa katoda (+) dan anoda (-), jika ditinjau dari proses discharge, serta satu komponen lain yang tak kalah penting yaitu elektrolit. LIB komersial konvensional biasanya menggunakan bahan Lithium Cobalt Oxide (LCO) sebagai katoda (sumber ion Lithium), dan grafit sebagai anoda. Serta memanfaatkan Lithium Hexafluoro-phosphate (LiPF6) dengan campuran pelarut kompleks seperti Ethylene Carbonate, Ethyl-methyl Carbonate, Diethyl Carbonate, Dimethyl Carbonate, dan juga additive berupa Fluoro-ethylene Carbonate dan Vinylene Carbonate. Oke, lupakan nama-nama rumit itu jika memang susah untuk dimengerti. Intinya di dalam LIB memiliki komponen elektroda positif, negatif, dan elektrolit berupa campuran bahan kimia.
Jika kita perhatikan bersama, pada anoda yang biasanya menggunakan bahan grafit, ketika kita lihat ke dalam struktur kristal dalam skala sangat amat kecil, terdiri dari tingkatan-tingkatan atau biasa disebut dengan stacks. Nantinya celah pada setiap tingkatan akan diisi oleh ion Lithium selama proses pengisian daya hingga selesai dan mencapai 100%, di mana pada proses ini membutuhkan beda potensial paling tinggi (kisaran 4.3-4.5 Volt). Sebaliknya, pada proses penggunaan daya atau delithiation, ion Lithium akan kembali menuju arah katoda LCO dengan struktur kristal demikian (lihat gambar), dan di akhir proses ini, beda potensial akan mengalami penurunan hingga titik terendahnya (kisaran 2.3-2.6 Volt). Nah, bayangkan jika stack, baik pada anoda maupun katoda, adalah sebuah bangunan dan Lithium sebagai filler penyangga. Dalam kondisi baterai kita terisi penuh 100%, anoda akan memiliki penyangga yang mumpuni atau bahkan berlebih. Menurut penelitian, ada penambahan volume maksimum sekitar 10% yang terjadi pada anoda pada tiap proses pengisian daya 100%, dan tak akan pernah kembali seperti semula meski ion Lithium telah meninggalkan stacks anoda. Hal ini berarti ada perenggangan yang terjadi pada celah anoda. Lalu, apa yang terjadi pada katoda? Katoda sedang dalam kondisi tidak stabil, atau memiliki kekosongan ion Lithium yang seharusnya akan segera diseimbangkan ketika kabel listrik dicabut dan proses discharge berjalan untuk menyeimbangkan kondisi alami dari ion Lithium yang seharusnya memang menempel pada LCO. Lalu, apa yang terjadi jika kita lupa mencabut charger kita semalaman? Alhasil, LCO akan terus dalam kondisi kehilangan ion Lithium, dan grafit akan terus menerus renggang karena celahnya diisi oleh ion Lithium. Kondisi ini akan memperpendek umur baterai kita jika dilakukan secara berulang-ulang. Sebaliknya, apa yang terjadi jika kita baterai kita kosong hingga 0%? Jawabannya mudah, mekanismenya sama dengan penjelasan di atas, akan tetapi kondisinya berbalik, grafit lah yang mengalami kekosongan tanpa penyangga. Dan jika analoginya masih sama, stacks adalah bangunan, maka bisa jadi struktur kristal grafit dalam anoda akan mudah collapse dan rusak. Dari sini kita jadi tahu dong, mengapa saat kita membeli alat elektronik baru, baterainya tak pernah 0%? Selalu akan ada sekitar 20-30% daya di dalamnya, yang mengharuskan kita melakukan pengisian daya selama beberapa jam untuk membuatnya full charge dan siap digunakan.
Nah, sesuai dengan pengembangan saran dari Prof. Jeng-Kuei Chang di atas, akan lebih baik jika kita mempertahankan baterai untuk bekerja pada range 20%-80%, sehingga akan semakin membuat umur pakai baterai lebih panjang, atau paling tidak sesuai desainnya: ±1000 kali charge-discharge, kalau kita estimasi melakukan pengisian daya sehari sekali, maka bisa jadi umur kerja optimal baterai kita akan bertahan hingga hampir tiga tahun). Oke, mulai sekarang kamu sudah siap menjadi pengguna baterai yang cerdas!
Catatan tambahan:
Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman penulis sebagai People in Charge dari Anode Materials for Battery Research Collaboration di tahun 2017-2018 antara Research and Development (R&D) of Super Energy Materials (SEM Inc.) dan Energy Storage and Green Chemistry Laboratory, National Central University (NCU), Taiwan.
2 Responses