Ngobrolin Fast Charging dari Sudut Pandang Materialist

Akhir-akhir ini lagi booming tentang teknologi pengisian daya baterai secara cepat (fast charging), dengan jaminan keamanan dan ketahanan pakai yang lama. Nah, sebelum masuk ke dalam arus bandwagon dari maraknya teknologi ini, alangkah lebih baik kita pahami bersama: apa sih yang terjadi di balik teknologi ini? Tapi kali ini bukan dari sudut pandang elektronika ya, karena latar belakang penulis bukan di bagian sana.
Yuk, disimak bersama!

Tulisan sebelumnya tentang Cerita Unik di Balik Pengisian Daya Baterai yang rilis beberapa waktu lalu, dari testimoni dan komentar yang masuk ke inbox-ku, kayanya bisa kuanggap semua wise-reader laman ini cukup paham dan bisa menangkap apa yang tertulis di sana. Karena 7 dari 10 masukan terbukti bisa memahami ulasannya secara komprehensif. Meski tetap saja ada yang berkomentar, “Bro, bahasanya terlalu teknis. Tulisan selanjutnya dibikin lebih simpel lagi ya!” atau “Mending dihilangkan aja tentang pengetahuan teknis semacam elektrolit yang kekimia-kimiaan itu. Aku sempat pusing bacanya. Meski over all pada akhirnya asyik kok.”

Intinya terima kasih banyak untuk para wise-reader dari #KotakAjaib Web Page yang sudah meluangkan waktu membaca tulisan-tulisan sebelumnya. Bahkan sampai dalam tahap mengkritisi dan memberikan saran yang membangun.

Jadi, yuk kita mulai aja!

Sejujurnya tulisan ini berasal dari inspirasi tugas presentasi tentang keseluruhan kinerja sistem Lithium-ion Battery dan perkembangannya di masa depan. Basisnya dari jurnal ilmiah milik Stefano Passerini and Bruno Scrosati yang berjudul Lithium and Lithium-Ion Batteries: Challenges and Prospects. Yang pada akhirnya coba kusajikan dengan tambahan amunisi 10 jurnal lainnya sebagai pendukung. Yah, masih bisa lebih banyak sih seharusnya, tapi setidaknya pemantik ini sudah berhasil menggiring Professor pengajar mata kuliah Materials for Energy Storage and Conversion Device untuk menjelaskan lebih dalam dan detail. Itu aja udah bikin aku cukup bersyukur. Karena tak mudah memancing seorang Professor untuk mengeluarkan ilmunya, kalau beliau menguji pemahaman kita sih gampang ya?
Oh iya, ini penampakan presentasi yang kubuat, kali aja ada yang penasaran.

Penampakan dari presentasi yang menggawangi ide di tulisan kali ini

Nah, sejujurnya tulisan kali ini terinspirasi dari hanya kurang dari 5% pembahasan yang ada di slide presentasi tersebut. Karena yang menjadi pemantik pembahasan tentang fast charging hanya ada pada sub-sub bab (tak nampak) tentang working voltage atau potensial aplikatif dari kinerja baterai di alat elektronik kita masing-masing, atau sebutan mudahnya mobile electronic semacam smartphone.

Dalam praktik marketingnya, perusahaan/produsen smartphone masa kini selalu mengedepankan besarnya kapasitas baterai (dalam mAh biasanya), yang otomatis biasanya terhubung dengan ketahanan penggunaan, keamanan, serta daya dukung penghematan waktu untuk menunjang mobilitas yang biasanya dipromokan dengan “dapat diisi hanya dalam waktu xx menit dan tahan untuk xx jam”. Tentunya fitur tersebut disebutkan setelah pemaparan keunggulan-keunggulan utama dari sebuah smartphone dong ya.

Sekilas tak ada yang salah jika kita memandang dari sudut pandang aplikatif dan efisiensi waktu. Karena pada dasarnya keinginan manusia akan selalu berkutat pada unstoppable activity dengan minimum resting time. Mungkin efek anggapan bahwa “waktu adalah uang” kali ya? Hihihi.
Tapi jika kita coba memandang agak sedikit lebih teknis, lewat sudut pandang materialist yang secara otomatis memperhatikan bagian-bagian penting dari komponen baterai, terutama anoda, maka ada pertanyaan besar yang masih mengganjal. Pertanyaan ini ada kaitannya dengan kondisi keamanan atau bahasa keren anak jaman sekarang, yang hobi campur-campur bahasa: safety issue.

Pada dasarnya, ketika kita berbicara tentang fast charging, maka secara implisit kita juga akan berbicara tentang working voltage dari sebuah baterai. Kali ini tinjauannya kucoba sedikit lebih minimalis ya, agar lebih sederhana dan mudah dipahami. Ketika ditinjau lewat komponen-komponen utamanya, kita akan lebih banyak berbicara pada bagian anoda (elektroda negatif, jika mengacu pada proses charge/pengisian daya). Jika kita masih menganggap bahwa penggunaan baterai yang ada di dalam smartphone saat ini menggunakan bahan katoda-anoda komersial seperti di ulasan sebelumnya: LCO-grafit, maka lewat ulasan kali ini, inshaAllah para wise-reader akan menemukan satu atau dua fenomena penting yang patut menjadi perhatian.

Normally, sistem baterai komersial dengan katoda-anoda LCO-grafit dan elektrolit (entah gel/cairan) berbahan dasar polimer karbonat, maka bisa jadi berada pada theoretical working voltage range antara 0.1-4.0 Volt (ini didasarkan pada potensial elektrokimia dari bahan anoda dan katoda, silakan dicek sendiri ya!). Selanjutnya, secara teknis biasanya pabrik akan memikirkan tentang efisiensi dan durability dari baterai yang mereka produksi. Sehingga muncul range baru yang lebih masuk akal untuk diaplikasikan (tentunya masih masuk di dalam theoretical range), yaitu sekitar 3.6-4.1 Volt (generasi agak ketinggalan jaman) atau 3.7-4.2 Volt (ini generasi yang marak di 3-4 tahun yang lalu). Hal tersebut didasarkan pada kurva delithiation/discharge yang bisa dilihat pada gambar berikut:

Sumber: https://learn.adafruit.com/

Oh iya, sebelumnya perlu kita ketahui juga bahwa potensial atau voltage bisa kita asumsikan seperti ‘perbedaan tekanan air’ sehingga arus dapat tercipta (jika kita menganggap aliran elektron lewat penghantar sama dengan aliran air dari hulu ke hilir). Sehingga, jika perbedaan tekanan itu semakin besar, maka aliran air juga akan semakin deras. Begitulah kira-kira prinsip sederhananya.

Dan lagi, untuk batas atas potensial adalah sebagai pemicu ekstraksi ion Lithium dari katoda ke anoda (charging), dan alasan mengapa jika ‘baterai habis’ smartphone kita akan mati mendadak adalah: potensial yang ada di dalam baterai telah mencapai area cut off terbawahnya (perhatikan gambar di atas). Yang artinya, ‘sejumlah’ ion Lithium yang diharapkan sebagai penggerak utama aliran elektron pada penghantar telah mencapai tahap (asumsi) ‘kosong/habis/tak lagi ada’ pada anoda (fenomena discharging telah tercapai maksimal), sehingga perlu di-charge ulang.

Lalu apa hubungannya fast charging dengan fenomena ini?

Hehehe, mohon bersabar dulu, biar belajarnya juga asyik, nggak grusa-grusu.
Dari penjelasan di dua paragraf setelah gambar, kita bisa mulai memahami bahwa batas atas potensial adalah area saat charging terjadi. Yang bisa kita pahami bahwa di baterai komersial saat ini ada pada 4.1-4.2 Volt. Meski di era tiga tahun terakhir ini, banyak smartphone yang telah berani menyematkan batas atas untuk produk mereka pada area 5.0 Volt (contoh: pada smartphone ASUS_X00DDA) demi mendukung upaya fast charging yang mereka canangkan untuk produknya.

Mari kita asumsikan bersama bahwa batas atas potensial baterai smartphone kita ada pada level 4.1-4.2 Volt. Yang mana, secara teoritis sebenarnya elektrolit dalam baterai akan bisa bertahan hingga sekitar 4.5 Volt (sebelum terdekomposisi atau bisa dibilang: susunan kimianya rusak). Sehingga untuk menjaga pada kondisi aman, kita coba sedikit turunkan dengan angka maksimum 4.2 Volt, artinya kita bisa mengekstrak ion Lithium dari katoda menuju anoda (charging) dengan menggunakan charger yang mampu mengalirkan listrik dengan potensial maksimum 4.2 Volt.

Lalu bagaimana kalau charger kita memiliki kemampuan menyalurkan listrik dengan potensial lebih besar? 5.0-6.0 Volt misalnya…

Wah, bagus itu!
Berarti arus elektron yang mengalir dari penghantar akan semakin besar, akibatnya ion Lithium pun juga semakin cepat terekstrak dari katoda menuju anoda. Alhasil, terjadilah fast charging.
Tapi ingat! Bagus di sini hanya bagus dalam sudut pandang aplikatif awam ya!

Lho? Kok gitu?

Iya dong, karena jika kita memandang dari segi material katoda-anoda LCO-grafit, batas teratas dari material ini hanya mampu bertahan pada potensial paling tinggi 4.0 Volt (dengan dukungan reaksi dari elektrolit bisa jadi 4.5 Volt). Sedangkan pada proses fast charging di atas, kita cenderung ‘memaksa’ ion Lithium untuk semakin cepat terekstrak dari katoda menuju anoda dengan menaikkan batas potensialnya di atas potensial maksimum. Alhasil, efeknya adalah elektrolit akan semakin mudah terdekomposisi. Proses selanjutnya, akan terjadi sebuah kondisi menebalnya lapisan tak stabil bernama Solid Electrolyte Interphase (SEI) di permukaan anoda (grafit), yang semakin sulit untuk ditembus oleh ion Lithium pada proses charging berikutnya. Jadilah reaksi dalam bateraimu semakin irreversible.
Iya kalau hanya SEI yang terbentuk, kalau justru tiba-tiba ada reaksi tambahan yang tak diharapkan berupa pembentukan dan pelapisan ion Lithium menjadi Lithium Metal layer di permukaan SEI atau di permukaan grafit (ini mungkin sekali terjadi jika batas atas potensial lebih tinggi dari range kemampuan bahan).
Efeknya akan fatal!

Jika lapisan SEI yang tak stabil itu terbentuk semakin tebal, efeknya kinerja baterai kita akan jauh berkurang, efisiensi akan turun, dan pastinya ketahanannya akan anjlok pada level yang tak bisa diprediksi. Bahkan jika sampai pada tahapan pembentukan Lithium Metal layer, ada kemungkinan baterai kita semakin tidak akan bertahan lama. Boro-boro sesuai dengan prediksi pabrikan, bahkan ekspektasi awet untuk 2-3 tahun aja mungkin susah. Ditambah lagi jika ternyata Lithium Metal layer tersebut membentuk jarum-jarum dendrit yang berpotensi menembus separator (setelah beberapa kali charge-discharge). Karena kecenderungan pembentukan jarum dendrit pada Lithium Metal layer dalam satu sistem perbateraian, apalagi yang elektrolitnya masih pakai polimer karbonat, sangat tidak bisa dihindari. Kalau minjem kata-kata Thanos di Avengers End Game, “I am inevitable“. Dan potensi terburuknya bisa jadi Snap and BOOM!
Jika tak hanya sekedar short circuit/korslet dan tak bisa digunakan, ya minimal terjadi ledakan. Ini skenario terburuknya sih.

Tuh kan, sekarang kita jadi lebih paham seberapa bahayanya.
Nah, tulisan kali ini masih mirip kaya sebelumnya, tidak hanya memberikan wawasan saja, melainkan juga akan memberikan beberapa tips menarik dan inshaAllah bermanfaat untuk menambah wawasan para wise-reader sekalian.

  1. Sebelum membeli smartphone akan lebih baik jika kita melihat spesifikasinya secara menyeluruh, terutama terkait dengan working voltage dari baterainya.
  2. Mari sejenak mengesampingkan detail material katoda-anoda apa apa yang ditanam dalam baterai di smartphone kita, karena detail semacam itu sangat mustahil dibocorkan oleh produsen baterai. Tapi, secara sederhananya, mari kita asumsikan bahwa teknologi baterai kita masih standar dan berkutat pada katoda-anoda: LCO-grafit atau LCO-LTO. Yang artinya kalian harus dan wajib mengatur bahwa batas atas dari potensial yang kalian gunakan dalam charger adalah 4.0-5.0 Volt, jangan sampai lebih!
  3. Kalau ingin pinjam charger teman untuk mengisi daya, harap perhatikan range potensial baterai smartphone kalian dengan spesifikasi charger yang akan digunakan. Pada prinsipnya:
    a) Jika baterai kalian maksimum bisa diisi dengan potensial 4.2 Volt, lalu charger-nya 4.2 Volt juga = AMAN;
    b) baterai 4.2 Volt, charger 4.1 Volt = AMAN (tapi kurang optimal);
    c) baterai 4.1 Volt, charger 4.2 Volt = mulai BAHAYA;
    d) baterai 4.2 Volt, charger 4.5-5.0 Volt = BAHAYA banget.

Tuh, sekarang sudah semakin paham kan?
Dengan adanya teknologi masa depan yang kita genggam saat ini, harapannya tidak menjadi malapetaka di kemudian hari, ketika kita salah menggunakannya. Apalagi kita tahu sendiri kecenderungan masyarakat Indonesia agak lebih mudah ter-bandwagon menjadi phobia pada produk tertentu jika sebelumnya pernah terjadi ‘peristiwa buruk’ (bad track record) pada produk tersebut. Tak peduli apapun alasannya.
Nah, lewat tulisan semacam ini, mari kita coba perlahan-lahan mengedukasi masyarakat kita untuk lebih memahami dan terampil dalam berteknologi. Yuk, jadi masyarakat yang lebih cerdas dalam berteknologi!

Sampai jumpa di tulisan selanjutnya…

5 Responses