Prolog
Fase menjadi mahasiswa adalah sebuah anugerah terindah yang (jika beruntung) dapat dinikmati setidaknya seumur hidup sekali. Selain fase menjadi siswa selama SMA ya, karena putih abu-abu sepertinya masih belum tergantikan fase apapun kalau untuk mendominasi indahnya masa puber.
Nah, jadi tulisanku kali ini ada kaitannya dengan sebuah post yang lebih dari setengah tahun lalu pernah kutulis, tentang Para Pencari Gelar Akademik (PPGA). Ada yang masih ingat? Atau justru belum pernah baca? Coba deh, diklik dulu aja tautannya. Sebelum baca lebih lanjut tentang tulisan ini.
Oke, sebagai pemanasan mungkin aku bakal cerita tentang pengalaman pribadi dulu aja deh ya. Jadi ceritanya masa-masa galau dalam mengerjakan thesis untuk Master degree telah terlewati, dengan adanya garis finish yang bernama sidang akhir (also known as Oral Defense). Dengan jalan cerita yang nano-nano, melebihi perasaan campur aduk saat menjelang sidang tugas akhir S1 di 2016 lalu. Tapi ya tetap saja lah ya, pekan-pekan ini mulai masuk fase revisi yang tak kalah tricky. Apalagi dibarengi dengan prosesi kepindahan kampus menuju jenjang yang lebih tinggi di kota lain. Oh iya, jadi Alhamdulillah jalan studiku masih seajaib saat meninggalkan Institut Teknologi Sepuluh Nopember beberapa waktu lalu. Mengapa demikian? Karena beberapa pekan sebelum oral defense, secara misterius dua kampus yang menjadi destinasi doctoral degree-ku menerima pendaftaranku dengan tangan terbuka. Kampus pertama, National Central University (NCU), yang tak lain adalah kampus yang menerimaku sebagai master student 2016 lalu lewat Professor Jeng-Kuei Chang. Nah, dan untuk kampus kedua ini jujur tak pernah terpikir olehku sebelumnya untuk bisa menuntut ilmu di jenjang lanjutan di kampus sekeren ini. Yang mana kalau menurut Wikipedia, kampus ini menjadi kawah candradimuka dari 65% CEO yang mendiami Hsinchu Science Park, yang sempat kusinggung di tulisan tentang Triple Helix, National Chiao Tung University (NCTU, nama sebelumnya: Nanyang Public School – 南洋公學).
Bagaimana ceritanya aku bisa mendaftar di sini pun penuh intrik dan jalur-jalur tak terduga. Karena pada awalnya aku hanya mendaftar di NCU saja. Hingga pada akhirnya, di satu minggu sebelum pendaftaran ditutup, Prof. Jeng-Kuei Chang menyarankanku untuk mencoba kesempatan untuk upgrade rank kampus.
“But why NCTU, Prof?” tanyaku blo’on.
“Because that’s a good choice for your future,” jawabnya enteng.
“Then, how about the lab? I don’t have any idea, who will be my supervisor or what kind of topic I can run!” bantahku ngeyel.
“Just apply first! I’ll find a way for you…” jawabnya meyakinkan, di pertengahan bulan Maret 2018.
Oke, kalau kata orang harus manut dan percaya sama guru untuk bisa sukses, itulah yang kupikirkan saat itu juga. Bermodal bismillah meski masih bertanya-tanya mengapa professor bersikukuh menyarankan aku mendaftar di kampus se-high class itu, aku mengumpulkan lagi berkas di sisa-sisa waktu menjelang ditutupnya pendaftaran. Kesana-kemari, fotokopi ini, scan itu, cetak berkas A, unggah berkas B, menghubungi dosen pembimbing selama S1 (Dr. Agung Purniawan) untuk meminta beliau mengisi surat rekomendasi online, dan lain sebagainya. Hingga pada akhirnya semua persyaratan berhasil terkumpul dan ter-submit.
Oke, skip masa-masa menunggu pengumuman. Karena pengerjaan thesis terus berjalan, dan itu jauh dari istilah tidak membosankan. Hingga tibalah bulan Mei, dan dua kampus menyatakan menerimaku sebagai calon mahasiswa doctoral degree, sekali lagi dengan embel-embel scholarship awardee (anaknya nyari gratisan mulu nih ya, sejak S1). Di momentum inilah semuanya baru terbuka lebar.
“So, you’re accepted, right?” tanyanya.
“Yes, both!” jawabku bangga.
“Ok, good!” tanggapan standarnya pun keluar begitu leluasa.
“Do you have any suggestion?” tanyaku, sekali lagi, masih blo’on.
“Of course, you must choose NCTU. That’s better!”
“Maybe, but how about the lab-group? Professor? Research funding?”
“Just don’t mind. Start from August 1st, I’ll be a professor of Materials Science and Engineering Department in NCTU,” ujarnya bangga.
“What? Really?” tanyaku, sambil terus membatin lapo gak ngomong ket wingi sih, Prof?
“Hahaha, forget it! Welcome to this lab-group again, Ozha…” katanya menutup percakapan.
Dan di sanalah semuanya terjawab. “Semprul!” batinku, jujur, sebelum pada akhirnya aku sadar dan mengucap “Alhamdulillah” banyak-banyak. Oh iya, secuil cuplikan tentang oral defense-ku ada di tweet ini dan juga ini ya. Jadi jangan pikir kalau jalanku juga lempeng-lempeng aja untuk mencuri gelar master dari negara berbahasa Mandarin ini. Kalau mau tahu kisah lengkap susahnya macam apa? Langsung kontak aku aja, kita ngobrol dan sharing live deh mendingan.
Karena apa? PANJANG…
Nah, jadi begitulah cerita warming up-nya. Dan sebentar lagi kita akan masuk ke klimaks dalam sebuah cerita tentang bagaimana tipikal lain dari PPGA yang mungkin lumayan banyak memberikan ulasan tentang studi kasus nyata yang terjadi di sekitarku, akhir-akhir ini. Jadi bersiap-siap kencangkan sabuk pengaman, ya! Untuk yang pantatnya, kupingnya, atau hatinya tiba-tiba panas atau merasa tersentil, berhati-hatilah!
>> bersambung
2 Responses