Tepat hari ini, satu Juni, diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Sebuah konsep visioner yang menjiwai kehidupan bernegara seluruh manusia Indonesia. Pancasila bagi bangsa Indonesia memiliki bermacam-macam fungsi yang bisa dibilang lengkap dan menyeluruh. Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan arah pandang (pandangan hidup) bernegara, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, falsafah hidup yang mempersatukan bangsa, cita-cita dan tujuan, perjanjian luhur, hingga sumber dari segala sumber hukum dan kebijakan di Indonesia. Nah, bagi WNI yang ada di tanah rantau, bagaimana sih penghayatan dari lima sila yang ada di Pancasila? Apakah memudar, atau justru sebaliknya?
Sejak sebelum Indonesia merdeka, tokoh-tokoh nasional Indonesia telah memikirkan perumusan Pancasila. Dari mulai Mr. Mohammad Yamin, Mr. Soepomo, Ir. Soekarno, dengan berbagai macam pengolahan frasa yang berbeda, hingga dikristalkan melalui rumusan Piagam Jakarta (22 Juni 1945), dan ditetapkan di dalam Preambule Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Setidaknya hingga saat ini, lima sila yang telah kita kenal sejak bangku sekolah dasar, dan bahkan dihapalkan di luar kepala, masih terus dijaga dan berhasil melalui berbagi zaman. Di dalam negeri penghayatan Pancasila dianggap hal yang penting dan krusial. Bahkan untuk pejabat publik bisa jadi dianggap tidak nasionalis jika sampai kebacut tidak hapal Pancasila. Meski kita bisa sepakat bahwa hapal saja tanpa pengamalan konkret akan menghasilkan kinerja pemerintahan yang ala kadarnya. Tapi tetap saja, bagaimana kita bisa mengamalkan jika tidak hapal dan menghayatinya?
Sebagai WNI yang cukup lama tidak berada di Indonesia, banyak pertanyaan-pertanyaan monolog yang mampir ke benak kami. Apalagi di luar Indonesia (ditambah masa pandemi melanda seluruh dunia), kami sudah hampir tidak pernah merasakan berdiri dalam barisan, hormat sambil mendengar lagu Indonesia Raya saat bendera Merah-Putih dikibarkan, mendengarkan pembukaan UUD 1945 dibacakan, serta mengheningkan cipta diiringi untaian syair-syair ciptaan Truno Prawit. Kecuali bagi orang-orang yang bekerja atau tinggal di lingkungan KBRI, KJRI, atau KDEI di negara tempat tinggalnya. Bagaimana kami memaknai Pancasila tanpa serangkaian prosesi upacara bendera?
Ketuhanan yang Maha Esa
Sila pertama ini cukup absurd untuk diamalkan secara konkret sebenarnya. Maksudnya, bagaimana bisa kita mengukur penghayatan tentang ketuhanan yang sebenarnya ada pada ranah pribadi masing-masing orang? Tapi ternyata, hal itu cukup mudah bagi kami, para perantau di tanah asing. Di sini, kami dipaksa untuk terbiasa menyaksikan ritual-ritual agama/keyakinan yang (bisa jadi) berbeda dengan apa yang kita anut di Tanah Air. Sedikit kita coba ingat, di Indonesia agama yang diakui hanya ada Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Sedangkan di luar sini agama dan aliran-aliran kepercayaan lain serta atheisme menjadi hal yang lumrah ada. Then, how we apply this point? Jawabannya hanya satu, dengan selalu berpedoman bahwa “untukmu agamamu (dan kepercayaanmu), dan untukku agamaku”. Maknanya, tak ada lagi pemaksaan kehendak untuk berketuhanan, apapun kepercayaanmu, jangan pernah merendahkan dan tidak menghargai kepercayaan lain yang dianut saudara sebangsamu sesama WNI, pun juga warga negara lainnya.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Masih ada keterkaitan dengan kalimat terakhir di paragraf sebelumnya. Jika kita coba tarik dari pemaknaan yang dicetuskan oleh Ir. Soekarno, Kemanusiaan ini lebih ke arah pandangan hidup berdampingan dengan bangsa lain (Internasionalisme). Di luar sini, kami sudah cukup kenyang dengan itu. Karena tidak banyak “ikatan-ikatan simbolis” yang bisa kami pegang sepenuhnya. Ikatan simbolis yang dimaksud diantaranya ada sebangsa dan sebahasa, susah! Di sini saja kami bertemu orang-orang berbahasa Indonesia cukup jarang. Seagama, apa lagi, coba tengok paragraf sebelumnya deh! Sedaerah asal? Sepulau? Seideologi? Semuanya susah kami dapatkan. Alhasil, satu-satunya “ikatan” yang bisa kami andalkan untuk berlaku adil dan beradab adalah kemanusiaan. Dengan alasan kami sesama manusia, mau dari latar belakang SARA apapun, mau tak mau kami harus berlaku sama pada siapapun.
Persatuan Indonesia
Ini yang paling mudah penerapannya. Jika di dalam negeri para oknum buzzeRp, penebar kebencian, dan pemecah belah cukup mudah untuk menyulut perpecahan, di luar sini kami setidaknya cukup solid ketika ingin menghalau hal semacam itu. Ya mau bagaimana lagi, tak ada pilihan lain untuk tidak bersatu, sama-sama di tanah rantau, sama-sama dilabeli sebagai orang asing. Jadinya sense of belonging terhadap Indonesia cukup tinggi. Kalau ada rekan WNI lain yang butuh bantuan, tanpa pikir panjang kami pun mencoba mencari solusi. Tanpa peduli warna kulit, jenis rambut, atau belo-sipitnya mata.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Dalam laman web Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI, kita bisa menemukan kutipan paragraf awal dari makna sila ini. “Negara Indonesia bukan sebuah negara yang didirikan untuk satu golongan, tetapi untuk semua yang bertanah air Indonesia. Oleh karena itu penyelengaraan negara didasarkan pada permusyawaratan perwakilan.”
Sebenarnya tanpa perlu ditanya, pengamalan sila ini pada kehidupan kami, tak jauh beda dengan WNI lain di Tanah Air. Wujud konkretnya adalah keberadaan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam tiap rapat/meeting dalam penentuan keputusan apapun pada komunitas dan organisasi Indonesia yang ada di luar sini. Dan lagi, di luar sini kami diwajibkan untuk mematuhi dua jenis aturan, baik aturan sebagai WNI maupun warga asing di negara tempat merantau. Alhasil, meski pikiran kritis masih kami coba pupuk, tapi upaya untuk mematuhi tiap-tiap aturan dan kebijakan (baik dari Indonesia maupun tanah rantau) mau tidak mau menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Lalu bagaimana kami menyalurkan pikiran kritis jika kurang sepakat dengan sebuah kebijakan? Cara yang kami tempuh lebih ke arah penyampaian gagasan berupa tulisan, diplomasi, dan cara-cara lain yang bisa dibilang “harus bisa mengakomodir dan tidak menabrak” aturan antara dua negara yang mengikat kami.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Mungkin di sila terakhir ini kami agak sedikit kesulitan untuk menerapkannya. Apalagi bagi kami-kami yang bukan merupakan bagian dari pemerintahan seperti ASN maupun pegawai di lingkungan KBRI, KJRI, atau KDEI. Akan tetapi, setidaknya kami selalu coba menghubungkan pengamalan sila ini dengan sila kedua. Jika internasionalisme saja sudah melekat pada kami, apalagi nasionalisme? Salah satu contoh solusi konkret yang bisa kami coba terapkan untuk penerapan sila ini adalah di bidang edukasi. Karena bagi kami, apapun tujuan untuk merantau, entah bekerja maupun berkuliah di negara lain, setidaknya harkat dan martabat WNI tidak boleh direndahkan oleh bangsa lain. Terutama dalam hal akses pengetahuan dan pendidikan. Banyak negara-negara yang memiliki gerakan dan organisasi yang menjalankan fungsi pendidikan. Dengan bergotong-royong menjalankan lembaga/sekolah Indonesia bagi para WNI yang membutuhkan pendidikan dasar dan menengah serta keterampilan, dan bahkan pendidikan tinggi terbuka di tanah rantau, sepertinya kami sudah bisa dikategorikan sebagai WNI yang cukup berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setidaknya itulah beberapa penghayatan dan pengamalan sederhana tentang Pancasila dari kami para perantau yang selalu rindu Tanah Air. Entah sudah cukup powerful atau belum, yang pasti Pancasila tidak pernah pudar dari dalam diri kami. Apa kabar kalian yang berada di Tanah Air? Pastinya lebih banyak langkah konkret yang bisa dan memungkinkan untuk dilakukan. Mari ber-fastabiqul khairat bersama ya!
Leave a Reply