Uniknya Perkawinan Material dan Arkeologi

Perpaduan antara ilmu biologi dan material sepertinya sudah sering kita dengar istilahnya, biomaterials. Kalau fisika dan kimia bersanding dengan material, banyak juga lab yang nomenklaturnya pakai istilah materials physics atau materials chemistry. Nah, gimana jadinya kalau material dan arkeologi dipadukan? Akankah jadi lebih menarik dan menantang?

Bidang archaeomaterials memiliki potensi tersendiri, terutama untuk mempelajari serta memberikan gambaran tentang peradaban di masa lalu. Tak bisa dipungkiri, keberadaan peradaban manusia tak pernah bisa lepas dari perkembangan bahan-bahan yang digunakan. Sejak mulai zaman batu (Palaeolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, dan Megalitikum), hingga zaman logam pun manusia selalu bergantung dengan perkembangan bahan apa yang bisa dimanfaatkan untuk mempermudah kehidupan. Akan tetapi keberadaan ilmu ini bisa dibilang cukup jarang dipelajari, apalagi oleh orang Indonesia.

Slide pembuka dari diskusi MATCHA ROOM sesi ke-11 bersama Shatila J. F. Algaff.

Beruntung tim MATCHA ROOM berkesempatan untuk berdiskusi dengan salah seorang mahasiswa Indonesia yang mendalami bidang Archaeological Materials Science di kampus-kampus yang berada di Portugal, Spanyol, Yunani, dan beberapa negara di Eropa lainnya sekaligus. Menurut Shatilla J. F. Algaff, alumni Erasmus Mundus Joint Master Degree in The Archaeological Materials Science (ARCHMAT), seringkali orang-orang salah sangka bahwa fokusan di archaeomaterials ini adalah di arkeologinya, padahal yang jadi titik berat keilmuannya adalah material, akan tetapi yang jadi konteks penelitiannya adalah benda-benda peninggalan masa lalu.

“Kalau materials scientist biasanya membuat material baru lewat sintesis sendiri lalu diuji di laboratorium, kalau archaeological materials scientist sampel ujinya adalah artefak dan barang-barang yang bisa dibilang memiliki nilai sejarah tersendiri. Kebayang dong kalau gagal melakukan karakterisasi akibatnya sefatal apa?” papar Shatila.

Archaeomaterials punya keunikan tersendiri dalam hal kolaborasi. Dalam melakukan riset, archaeological materials scientist bisa jadi harus bekerja sama dengan arkeolog, sejarawan, paleontologist, dokter (bisa jadi untuk urusan analisis mumi), pun juga ahli hukum (untuk urusan pencarian sampel antarnegara), dan masih banyak lagi. Lalu, untuk melakukan karakterisasi material di bidang ini, ada yang namanya archaeometry. Sebuah teknik pengujian ilmiah, menggunakan alat-alat uji konvensional maupun modern, yang dipakai khusus untuk sampel-sample bernilai sejarah (archaeological materials). Alat-alat modern yang digunakan pun tak jauh-jauh dari X-ray fluorescence (XRF), Fourier-transform infrared spectroscopy (FTIR), scanning electron microscope (SEM), transmission electron microscopy (TEM), dll.

Tujuan dari belajar archaeomaterials sendiri bisa dibilang sedikit berbeda (lebih khusus) jika dibandingkan dengan materials scientist pada umumnya. Diantaranya ada dating, provenance, conservation and preservation, future research, dan originality.

Dating ini untuk mengetahui umurnya berapa, provenance untuk mengetahui materialnya dari mana, conservation and preservation ini ada hubungannya dengan sebegitu pentingnya sampel ini untuk dijaga (karena nilai sejarahnya), future research ini contohnya semacam pengetahuan tentang kosmetik di zaman Cleopatra yang bisa dijadikan sebagai acuan produk kosmetik di masa kini atau masa depan, dan yang terakhir originality. Ini lebih unik lagi, sebagai contoh: acuan kaya/tidaknya seseorang di Eropa adalah tentang seberapa otentik dan original-nya sebuah karya seni bersejarah yang dimiliki. Jadi, originality ini sangat penting.” ujar dara yang saat ini bekerja sebagai Materials Scientist for Cultural Heritage dan Junior International Consultant di Sociedade Portuguesa de Inovação (SPI).

Beberapa mata kuliah yang harus dikuasai oleh calon Archaeological Materials Scientist.

Beberapa mata kuliah multidisiplin yang wajib dijalani oleh Shatila dan rekan-rekan mahasiswa lainnya di bidang ini adalah Archaeology, Methods of Archaeology, Historical Context, Excavation, Fundamental of Chemistry, Basic Aspect of Chemistry (organic, inorganic, polymers, dyes, etc.). Selain itu juga masih banyak lagi mata kuliah lain yang harus dikuasai.

“Kalau kita sempat bahas juga tentang archaeometallurgy, ini ada benda bersejarah yang masuk dalam klasifikasi sub-ilmu tersebut, biasanya ada pedang, koin, dan emas,” terang Shatila sambil menunjukkan gambar The al-Battar sword di dalam slide-nya.

Fokusan riset dari Shatila untuk menyelesaikan studinya adalah Illuminated Manuscript yang ada di kisaran abad ke-5 hingga 15. Pada studinya, Shatila harus menganalisis media yang digunakan untuk menulis, bahan tinta hitam maupun berwarna yang ditorehkan di atas media tersebut, dan juga gaya tulisan di lembaran media tulisan. Bahkan, di tiap-tiap zaman, bahan tinta yang digunakan untuk menulis pun bisa berbeda. Sehingga memunculkan efek yang berbeda pula pada warna yang dihasilkan.

Ini adalah salah satu bahan tinta pada Illuminated Manuscript yang diteliti oleh Shatila.

Nah, sudah sedikit paham kan tentang Archaeomaterials. Sebagai pelengkap untuk pelestarian situs-situs bersejarah dan mungkin peninggalan-peninggalan masa silam yang banyak tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, menurut kalian perlu nggak sih cabang ilmu ini dipelajari di Indonesia?

Keep simple and futuristic!

*) Seluruh isi artikel ini ditulis berdasarkan diskusi Materials Chat Room pada 27 Desember 2020, untuk menyaksikan siaran ulangnya, silakan langsung menuju ke tautan MATCHA ROOM sesi ke-11.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *