Belajar dari Taiwan, Triple Helix yang Mampu Dijalankan

Repost from my original article in Indonesia Development Forum site (June 10th, 2018)

Indonesia, sepertinya sudah bosan hanya sebatas memiliki predikat negara berkembang setelah berpuluh-puluh tahun merdeka. Pasalnya dalam kurun waktu satu dekade ke belakang, ditambah lagi perencanaan pembangunan yang akhir-akhir ini selalu dielu-elukan dan dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo beserta jajaran kabinetnya, seolah menyiratkan bahwa kalimat pembuka tulisan ini benar adanya. Dari mulai pemerintahan, infrastruktur, pendidikan, industri, dan hampir di semua sektor yang menjadi penopang perekonomian dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia telah tersentuh usaha pengembangan dan peningkatan kinerja.

Oleh karenanya, bolehlah sejenak kita menengok bagaimana Pulau Formosa, atau yang biasa kita kenal sebagai entitas politik bernama Taiwan (R.O.C.), menjalankan upaya untuk memajukan roda perekonomian mereka. Roda perekonomian mereka bisa kita lihat secara kasar lewat rata-rata persentase pertumbuhan ekonomi sebesar 2.60% per 8 Juni 2018 (Taiwan Directorate-General of Budget, Accounting, and Statistics) serta tingkat ekspor 11% dalam paruh tahun 2017 (The World Factbook) yang didominasi oleh pasar semikonduktor, sektor andalan utama Taiwan. Meski sebenarnya sektor ekspor Taiwan tak hanya di semikonduktor saja, melainkan juga bidang-bidang lain seperti industri perangkat elektronika, produk-produk teknologi informasi dan komunikasi (aplikasi), inovasi teknik proses pemurnian minyak bumi, industri bahan kimia dan obat-obatan, tekstil, bahkan juga besi dan baja, industri perakitan otomotif dan permesinan, inovasi bahan bangunan, inovasi pengolahan makanan, dan bahan-bahan habis pakai (bidang ini sangat minim).

Satu hal yang saya garis bawahi selama melakukan studi di Taiwan adalah etos kerja warganya yang sangat tinggi untuk melakukan usaha maksimal dalam bidang teknologi demi kemajuan bangsanya, meski sampai sekrang statusnya masih belum sepenuhnya menjadi negara.

“Taiwan punya sumber daya yang terbatas, tanah tak luas, air kurang, listrik terbatas, sumber minyak bumi yang besar kami tak punya, dan bahkan 2 per 3 pulau ini saja berupa gunung. Maka apa lagi yang bisa kami andalkan selain ilmu pengetahuan? Di sanalah kami realistis dengan memaksimalkan satu komoditi andalan kami: industri superkapasitor,” ujar Prof. Tu Lee, Kepala Departemen Chemical and Materials Engineering, National Central University, Taiwan, saat memberikan pengantar di kelas Bioinspired Materials and Technology di akhir tahun 2017 lalu.

Coba perhatikan lagi komoditas-komoditas apa saja yang menjadi lahan ekspor bagi Taiwan di paragraf awal. Mungkin alasan-alasan itu pula yang menjadikan Taiwan lebih mengarahkan sumbangsih mereka ke dunia teknologi berupa “inovasi”, “teknik”, barang teknologi jadi, dan juga segala hal yang berbau platform dan bukan bahan mentah, karena mereka tak memilikinya secara berlimpah.  Nah, menariknya lagi, dalam menyikapi bidang-bidang yang menjadi andalannya, Taiwan membagi tiap-tiap sektor andalan tersebut ke wilayah-wilayah mereka secara desentralisasi penuh, meski masih dalam kontrol utama pemerintah, dan juga pihak ketiga (utamanya universitas) dalam mempertahankan koridor perencanaan target utama mereka.

Pembagian tersebut dikenal dengan konsep Science Park yang tersebar di berbagai tempat di Taiwan. Dimulai dari Hsinchu Science Park (HSP), didirikan pada tahun 1980 dengan menjangkau daerah-daerah Hsinchu, Jhunan, Longtan, Tongluo, Yilan, dan sekitarnya, memiliki fokusan di industri semikonduktor, teknologi dan komunikasi, serta bioteknologi. Didukung oleh Industrial Technology Research Institute (ITRI), the Taiwan’s Silicon Valley (sebutan ini pernah muncul di ABCNews) berkembang dengan pesat, salah satu buktinya adalah dengan keberadaan Taiwan Semiconductor Manufacturing Company Ltd. yang berhasil menjadi pioneer di bidang semikonduktor di Asia.

Setelah Hsinchu ada juga Southern Taiwan Science Park (STSP), didirikan pada tahun 1993 dengan menjangkau daerah-daerah Tainan, Kaohsiung, dan sebagain besar wilayah selatan, memiliki fokusan pada industri semikonduktor, opto-elektronik, farmasi, kimia organik, pengolahan mineral dan logam, hingga pertanian, peternakan, dan pengolahan makanan. Selanjutnya untuk menyusul pesatnya laju perindustrian dari HSP dan STSP yang telah berdiri sebelumnya, maka Taiwan mengembangkan lagi Central Taiwan Science Park (CTSP), didirikan pada 2003 dengan menjangkau daerah-daerah Taichung, Huwei, Houli, Erlin, dan Chung Hsing. Science Park baru ini lebih berfokus pada industri yang menjadi ujung tombak mereka, dengan masih mempertahankan industri semikonduktor, opto-elektronik, precision machinery, serta industri kreatif berwawasan budaya dan lingkungan.

Ada lagi, di bagian utara Taiwan juga memiliki pusat penelitian dan ilmu pengetahuan terbesar bernama Academia Sinica (semacam LIPI-nya Taiwan) yang memiliki fokusan untuk mengembangkan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan berwawasan teknologi, lingkingan, dan kemanusiaan. Nah, dalam tiap-tiap Science Park yang mereka miliki, Taiwan mengolaborasikan berbagai industri (perusahaan) yang memiliki fokusan di bidang-bidang tersebut dengan beberapa universitas yang ditunjuk sebagai pihak ketiga dalam menjembatani antara program pemerintah yang sedang dan akan dijalankan dengan target perusahaan. Tujuannya adalah untuk menghasilkan produk siap pakai yang sesuai dengan perencanaan pembangunan lewat Research and Development section, yang biasanya ada di tiap perusahaan. Konkretnya, tiap perusahaan akan menempatkan mahasiswa (umumnya Master dan PhD) untuk menjadi kolega dan konsultan mereka (seperti pengalaman saya dalam menjalani riset master degree). Dengan simbiosis mutualisme berupa riset para mahasiswa ini dibiayai langsung oleh pemerintah featuring industri, dan hasil penelitian mahasiswa akan menjadi karya publikasi aplikatif, dan bila perlu dijadikan blueprint dalam pembuatan produk tertentu.

Wow, menarik bukan? Taiwan dengan luas area yang tak lebih dari 23%-nya pulau Jawa saja mampu membagi wilayahnya sedemikian rupa demi memaksimalkan konsep triple helix yang ingin mereka nikmati hasilnya di kemudian hari, yang saat ini pun sepertinya sudah mampu menampakkan tajinya di dunia industri andalan mereka. Oh iya, apa sih maksud dari adopsi konsep triple helix? Nah, singkatnya adalah upaya kolaborasi konkret antara pemerintah, industri, dan universitas dalam mengembangkan suatu negara entah di lini manapun, baik dari sisi perekonomian, perindustrian, ilmu pengetahuan, dll. Hingga nantinya taka da sekat lagi antara kemajuan dari sisi konseptual akademik dengan aplikasi yang nantinya diterapkan dalam suatu bidang.

Jadi, bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebenarnya memiliki segudang potensi dari sudut Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai pulao Rote.

Oke, mari kita mulai penjelasannya lewat ilustrasi infografis yang ada di gambar utama. Secara garis besar kita dapat membagi Indonesia menjadi empat Techno-park yang terdiri dari Western, Northern, Eastern, dan Southern. Karena basis utama dari konsep ini adalah teknologi, baik yang berupa technical science maupun social sciences, maka kita dapat menitik beratkan konsep pengembangan (yang memanfaatkan konsep the real triple helix) pada beberapa kampus-kampus yang terletak di daerah masing-masing. Contohnya IWTP punya Universitas Syiah Kuala, Universitas Malikussaleh, Universitas Sumatera Utara Universitas Negeri Medan, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Universitas Riau, Universitas Andalas, Universitas Jambi, Universitas Bengkulu, Universitas Sriwijaya, Universitas Bangka Belitung, Universitas Lampung, Institut Teknologi Sumatera, dan universitas-universitas lain yang terbentang dari utara sampai selatan area berwarna oranye.

INTP punya Universitas Tanjungpura, Universitas Palangka Raya, Institut Teknologi Kalimantan, Universitas Mulawarman, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Borneo Tarakan, dan beberapa politeknik yang bisa menjadi ujung tombak untuk mengembangkan area berwarna hijau. IETP punya Universitas Hasanuddin, Universitas Negeri Makassar, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Negeri Manado, Universitas Tadulako, Universitas Sulawesi Barat, Universitas Haluoleo, Universitas Negeri Gorontalo, Universitas Cenderawasih, Universitas Musamus Merauke, Universitas Papua, dan beberapa universitas lain yang bisa menjadi fokusan pemerintah dalam upaya pengembangan area berwarna merah maroon.

Dan yang terakhir ada ISTP yang memiliki Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Universitas Negeri Semarang, Universitas Diponegoro, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri Sebelas Maret, UPN Veteran, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Udayana, Universitas Mataram, Universitas Nusa Cendana, Universitas Timor, dan masih banyak lagi kampus-kampus yang dapat dijadikan sebagai ujung tombak pembangunan area berwarna biru.

Setelah mengetahui pemetaan dari anggota helix kedua (universitas) maka anggota helix pertama (pemerintah) bisa melanjutkan dengan sebuah daftar lanjutan tentang jumlah anggota helix ketiga (industri-industri potensial) yang menempati area-area masing-masing, atau bahkan yang diproyeksikan akan menempatinya di masa mendatang, yang pastinya daftar tersebut telah dikantongi pemerintah sejak lama. Untuk selanjutnya kita adakan pendalaman konsep lebih lanjut, berupa perencanaan proyek apa yang akan dikerjakan bersama di masing-masing area. Misalnya, proyek pertambangan akan menjadi fokusan utama dari INTP dan IETP, meski tetap saja tidak melupakan proyek lainnya yang berupa industri-industri pengolahan SDA hayati yang tentunya tak kalah melimpah. Lalu proyek perkebunan bisa menjadi fokusan utama dari IWTP dengan tidak meninggalkan proyek lain yang potensial. Dan untuk ISTP dapat memanfaatkan industri kreatif, bahan kimia, obat-obatan, otomotif, dirgantara, maritim, dan industri-industri lainnya. Begitulah garis besarnya kira-kira.

Dengan demikian maka masing-masing universitas dapat berlomba-lomba untuk membuat konsep/proposal penelitian yang aplikatif dan memiliki tujuan pengembangan wilayahnya masing-masing. Dan pemerintah tinggal memperkuat dengan kebijakan-kebijakan dan pendanaan lewat APBN yang mendukung pengembangan tersebut. Lalu, industri hanya tinggal mempersiapkan pendanaan untuk melakukan back up pemerintah jikalau APBN tidak mencukupi dalam hal research and development yang diajukan universitas, juga mempersiapkan rencana matang dalam hal pemasaran produk atau jasa dari hasil proyek kolaborasi tersebut.

Dan masyarakat, yang merupakan core pusat pergerakan dari para pelaku konsep ini (karena pada dasarnya para anggota masing-masing helix adalah bagian dari masyarakat) bisa memiliki gambaran jelas akan dibawa kemana pengembangan daerah mereka, sehingga akan semakin terpacu untuk ikut berkontribusi dalam mengupayakan kemajuan daerah masing-masing. Bukankan jika semua pihak bekerja sama dan bersaing sehat dalam memajukan wilayahnya, maka tidak akan ada lagi kesenjangan di masing-masing daerah?

Intinya, jika ada upaya pengembangan di satu area warna, maka pemerintah, industri, dan universitas di mana area tersebut berada harus menjadi garda terdepan dalam melakukan aktivitas pengembangan tersebut. Sehingga akan ada kolaborasi positif dan simbiosis mutualisme antara masyarakat, pelaku industri, pemerintah (baik pusat maupun daerah), dan peneliti akademik dalam upaya menghapus kesenjangan di seluruh wilayah Indonesia.

#AtasiKesenjangan #IDF2018

3 Responses