Kebaruan menjadi kata yang cukup populer di kalangan pelajar, mahasiswa, pun juga peneliti. Atau jika ingin di-Inggris-kan, lebih dikenal dengan istilah ‘novelty’. Tahukah kalian jika istilah ‘baru’ yang menempel pada imbuhan ke- dan -an itu justru berawal dari hal-hal tua? Lho, kok gitu?
Ada yang menarik di surat yang dikirimkan oleh Sir Isaac Newton kepada Robert Hooke pada tahun 1675. Kutipan tersebut penggalannya digunakan sebagai slogan oleh Google Scholar. “If I have seen further, it is by standing on the shoulders of Giants.” – Isaac Newton (1642-1727). Di era saat ini, pernyataan metafora ‘di atas pundak raksasa’ memberikan sebuah makna cukup dalam. Pencapaian ilmu pengetahuan hanya bisa dilakukan dengan menerapkan kemampuan untuk bisa melihat lebih jauh (visioner). Dan kemampuan tersebut hanya dapat diperoleh ketika kita berpijak pada ‘raksasa’ atau ilmu pengetahuan yang dirumuskan/dihasilkan oleh pendahulu.
Kebaruan dan Kesalahan Anggapan
Sejak SMP, SMA, hingga bahkan kuliah, istilah kebaruan ini seringkali dijadikan landasan pemutus kreativitas oleh para guru dan dosen. Pasalnya dengan berpatokan pada arti literal dari kebaruan, maka siswa dan mahasiswa dicegah untuk melampirkan sitasi sumber bacaan lama. Yang tak jarang terdengar adalah persyaratan menulis esai atau karya tulis semacam “referensi tidak boleh lebih dari 5-10 tahun”. Jika maksudnya adalah agar ilmu yang diolah adalah yang paling update, mungkin bisa jadi normal. Tapi sudut pandang tersebut bisa jadi salah jika dibenturkan dengan harapan pengajar/tenaga pendidik untuk mencetak inovator masa depan.
“Sebenarnya penelitian lama, atau zaman old itu sah-sah saja dijadikan referensi. Sedangkan untuk penelitian-penelitian baru itu bisa dijadikan patokan fokusan apa atau sudah sejauh mana penelitian lama itu tadi dikembangkan.” Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Moch. Syaiful Anwar, S.T., M.Si. – Peneliti di Pusat Riset Metalurgi BRIN RI, saat menjadi narasumber di MATCHA ROOM ke-67.
Anggapan Dr. Syaiful Anwar tersebut bisa jadi benar karena kebaruan itu bukan semata hanya variabel waktu. Mengisi celah rumus/metode/alur sintesis/dll yang sudah well established pada satu bidang aplikasi untuk diterapkan pada bidang lain. Hal itu juga bermakna memiliki kebaruan. Jadi, cukup salah kaprah jika kebaruan selalu disematkan dengan konstrain waktu terbitnya suatu ilmu/publikasi.
Contoh Penelitian Baru dengan Referensi Lama
Oh iya, bagi pengikut/teman sosial media Prof. Mikrajuddin Abdullah (Departemen Fisika ITB) pasti familiar dengan publikasi terbaru beliau. “Trajectories of electric charges passing through an ideal solenoid and a thin conducting pipe arranged coaxially” (European Journal of Physics, 20 April 2023) isinya singkat dengan kepadatan yang bisa dibilang cukup untuk mengobati dahaga rumus-rumus dasar fisika yang menjadi pondasi bidang keilmuan magnetik. Bahkan, secara terang-terangan Prof. Mikrajudin pun menjelaskan bahwa topik yang diangkat dalam penelitian ini cukup old school. Meski ilmunya tua, beliau memaparkan bahwa konsep (non-eksperimental) ini memiliki potensi untuk diaplikasikan pada alat-alat populer. Diantaranya pada sistem mass spectrometer dan instrumen lain bernama isotope discriminator. Dalam publikasi tersebut, setidaknya ada lebih dari 50% referensi berumur >10 tahun yang disitasi.
Contoh lain, artikel berjudul “Supercritical CO₂-Assisted SiOx/Carbon Multi-Layer Coating on Si Anode for Lithium-Ion Batteries“. Terbit di Advanced Functional Materials pada 14 Juli 2021. Artikel tersebut memiliki sekitar 22% referensi berumur di atas 10 tahun. Padahal, secara kebaruan artikel tersebut (salah satunya) berhasil menjelaskan untuk pertama kalinya konsep mekanisme reaksi kimia antara karbon dioksida dengan nanopartikel silikon dalam kondisi supercritical dari gas CO₂. Selain itu juga ada artikel “N-Containing Carbon-Coated β-Si₃N₄ Enhances Si Anodes for High-Performance Li-Ion Batteries“. Dipublikasikan di Advanced Science pada 11 Mei 2023. Di dalamnya memuat cukup banyak kebaruan tentang fenomena-fenomena yang terjadi pada material keramik β-Si₃N₄. Apalagi ketika dipertemukan dengan mekanisme charge-discharge di dalam baterai. Bahkan, bisa dibilang fenomena tersebut mematahkan penelitian dan pemahaman sebelumnya bahwa material tersebut inert dan tidak terpengaruh reaksi elektrokimia. Pada penelitian tersebut setidaknya ada 30% referensi yang terbit pada rentang tahun 2012 hingga 1958.
Epilog
Jadi, pada dasarnya ada beberapa poin yang kita bisa ambil dari keberadaan ‘raksasa’ dalam ilmu pengetahuan terdahulu.
- Mengutip referensi lama tidaklah berdosa ketika tujuannya adalah menggali an unexplored gem.
- Lahirnya sebuah inovasi bisa dimulai dengan keingin tahuan dan kreativitas, salah satunya adalah menggali celah kebaruan lewat penelitian lama.
- Terkadang jebakan “wajib mengutip referensi terbaru saja” akan mematikan kemampuan analisis siswa, mahasiswa, pun juga peneliti untuk menemukan kelemahan dari sebuah pemahaman yang telah menjadi state-of-the-art.
- State-of-the-art tidaklah seperti kitab suci yang tak bisa diutak-atik, karena ilmu pengetahuan bersifat nisbi dan temporer, menunggu penemuan yang lebih baru lagi untuk mematahkan konsep sebelumnya.
- Kebaruan tidak terikat dengan parameter waktu, karena faktor-faktor lain yang menunjang novelty biasanya justru tidak terikat dengan durasi ilmu tersebut dipublikasikan kepada khalayak dalam wujud artikel ilmiah.
Nah, sudah sejauh mana kita memupuk keberanian untuk mendobrak konsep-konsep yang sudah settle untuk diuji kembali? Jangan sampai pemikiran yang tertanam bahwa referensi lama sudah usang menjadikan kita terjebak dengan dinding pemisah semu yang justru mematikan bibit-bibit unggul inovator visioner masa depan dalam diri kita. Tak hanya dalam diri kita, bisa jadi juga untuk siswa-siswi, mahasiswa/i, pun juga masyarakat di sekitar kita.
Leave a Reply