Pesan Tersirat tentang “Peran Manusia” dalam Drama

Hi wise reader sekalian, tak terasa akhir tahun 2020 sudah di depan mata. Bagaimana progress ativitasnya di tahun ini? Sepertinya mayoritas sedang dilakukan dengan metode work from home dan rebahan-mode ya? Oke, untuk menemani waktu-waktu rebahan wise reader sekalian, kali ini aku akan bagikan beberapa opini dan insight ringan tentang “diri kita”.

Wait, kenapa nggak based on background studi aja yang dibagiin, bukannya akan lebih penting dan menarik?

Itu nanti ada waktunya, jadi sembari tayangan diskusi Materials Chat Room (MATCHA ROOM) masih berlangsung, sementara kita hadirkan tulisan ringan-ringan dulu aja di web page ini ya! Oh iya, buat yang baru baca/dengar (karena sekarang beberapa browser sepertinya mulai mengembangkan fitur voice reading otomatis) tentang MATCHA ROOM, mungkin bisa mampir ke tulisan terbaruku di GNFI. Dan jangan lupa, kalau penasaran bisa langsung ke tautan bit.ly/MATCHAROOM-Playlist aja.

PROLOG

Tahun 2020 sepertinya memang waktu terbaik untuk berselancar lebih jauh ke dalam diri pribadi. Banyaknya quality time yang tercipta akibat pandemi Covid-19, entah lewat work from home (WFH) atau waktu-waktu karantina mandiri, menjadi hal langka yang patut kita apresiasi. Kesempatan untuk bermuhasabah atau introspeksi diri menjadi besar, lewat berkurangnya aktivitas luar ruangan yang tiada henti sebagai konsekuensi kesibukan pekerjaan prapandemi. Di kala WFH, tak jarang kita menghabiskan waktu senggang dengan menonton serial-serial yang bisa memberikan asupan hiburan, dan bahkan edukasi “tipis-tipis” untuk hal-hal di luar pekerjaan kita. Seperti contohnya serial-serial N*tflix (baik yang original maupun hasil kolaborasi), pun juga drama Korea menarik yang di tahun 2020 ini sepertinya tak henti-hentinya berseliweran di linimasa sosial media kita. Ambil saja Emily in Paris, The Crown, The Queen’s Gambit, Itaewon Class, Start Up, dan masih banyak lagi. Mungkin jika di-list satu per satu postingan ini akan penuh dengan judul-judul serial dan drama menarik dari seluruh penjuru dunia. Nah, kali ini aku akan coba angkat tentang beberapa topik yang kemungkinan besar akan sedikit menyasar pada judul-judul tersebut, dalam hal menyelam lebih dalam ke topik “peran manusia”.

Sejak bayi kita telah berada pada lingkaran kebiasaan yang ditanamkan oleh ayah dan ibu. Dari mulai hal-hal sederhana yang terfokus pada aktivitas bangun, makan, mandi, olah raga, belajar, bermain, tidur, dll, semuanya masuk dan berawal dari interaksi di lingkungan keluarga. Hingga pengenalan tentang sebuah pembagian aktivitas berdasarkan gender, entah yang berbau stereotype di masyarakat maupun yang dikembangkan sendiri lewat pemahaman orang tua kita. Lewat keluarga, kita mengenal yang namanya ayah: seorang laki-laki yang berperan sebagai kepala rumah tangga dan memimpin keluarga, lalu ibu: seorang perempuan yang berperan sebagai navigator utama (sebagai sekretaris, manajer keuangan, pendidik, dll) mendampingi ayah di dalam keluarga, bisa juga ada kakak: seseorang yang lebih tua (bisa laki-laki atau perempuan) dan lahir lebih dulu daripada kita, atau juga adik: yang merupakan kebalikan dari peran kakak. Peran-peran tersebut kita kenal sebagai awalan dalam memetakan sebuah percabangan dalam diri manusia.

Tanpa disadari, orang-orang yang menempati peran-peran tersebut (ayah, ibu, kakak, adik) bertindak dan berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam masyarakat. Misalnya: ayah harus melindungi dan mencari nafkah, ibu harus menyayangi dan mengurus rumah, kakak harus mengajari adik-adiknya dan memberi contoh yang baik, pun juga adik yang harus menghormati seluruh anggota keluarga yang lebih tua dan turut ambil bagian dalam setiap keputusan keluarga lewat bimbingan. Seiring berjalannya waktu seorang anak akan menemukan bahwa ternyata peran-peran tersebut telah ditentukan lewat nilai-nilai di dalam masyarakat, sehingga dia pun akan mencoba untuk mengambil peran dan bertindak sesuai “ekspektasi” nilai dan norma yang telah ada, karena peran yang ditempatinya.
Refs: Turner R (1962), Role-taking, process versus conformity. In: M Rose, ed. Human behaviour and social processes. Boston: HoughtonMifflin. & Grossack M, Gardner H (1970), Man and men: social psychology as social science. Scranton, PA: International Textbook Co.

Itaewon Class (JTBC) and Start Up (TVN) poster

Bagi para penonton serial-serial yang sempat dimention di atas, tentu masih ingat tentang Emily yang harus pandai membagi peran “dirinya” sebagai pegawai dari sebuah firma dengan klien yang proyeknya tengah ia tangani di satu kesempatan, maupun “dirinya” sebagai teman kencan dari klien tersebut di kesempatan yang lain (Emily in Paris). Atau Park Sae-ro-yi yang mampu menempatkan “dirinya” sebagai rival dari Jang Dae-Hee sang pemilik perusahaan chaebol bernama Jangga Co. saat merintis Dan Bam sebelum menjadi I.C. Co., ataupun “dirinya” sebagai pebisnis yang mengakuisisi Jangga Co. saat menghadapi kebangkrutan tanpa peduli tentang seberapa bencinya dia kepada Jang Dae-Hee (Itaewon Class). Meski untuk Itaewon Class, pernyataan barusan cukup debatable karena pada dasarnya menghancurkan dan bahkan mengakuisisi Jangga Co. adalah tujuan terbesarnya. Nah, kita lanjutkan contoh lain, Han Ji-pyeong di episode-episode menjelang akhir sempat menjawab pertanyaan Kim Yong-san tentang keputusan “trio San, ex Samsan Tech” untuk bergabung pada perusahaan rintisan bernama Cheongmyeong, di bawah In-jae Company, dengan dua kemungkinan jawaban. Kemungkinan pertama secara jelas dia menempatkan “dirinya” sebagai orang yang memiliki perasaan khusus ke CEO Cheongmyeong, Seo Dal-Mi. Dan kemungkinan kedua Han Ji-Pyeong menempatkan “dirinya” sebagai seorang (ex) mentor dan investor (Start-Up).

Untuk orang-orang yang bukan penikmat drama-drama tersebut mungkin agak sedikit roaming dengan analogi di atas. Akan tetapi, dengan berpedoman pada data yang beredar, ada sekitar enam dari sepuluh orang pada rentang usia 19-29 tahun lebih suka menonton secara streaming (Pew Research Center). Dan data lain juga mengungkap bahwa 35 % populasi anak muda suka menonton N*tflix (Piper Jaffray, 2019). Sehingga, kita asumsikan jika bahwa 60 % orang yang suka menonton secara streaming tadi juga menonton serial-serial drama Korea N*tflix, ada kemungkinan sekitar 21 % populasi dunia berkemungkinan besar menonton drama-drama tersebut, termasuk Indonesia. Sehingga pasti cukup banyak yang memahaminya.

Oke, kita kembali lagi ke topik awal. Sebagai manusia kita telah jelas dikaruniai dengan akal pikiran serta kecerdasan untuk mengendalikan apa yang bisa dan ingin kita lakukan. Termasuk di dalamnya adalah membagi peran. Di 2019 silam, aku berkesempatan untuk hadir di sebuah diskusi konstruktif yang digawangi oleh Indonesian Diaspora Network, menghadirkan ibu Ayleen Wisudha dari Lumina Learning. Beliau merupakan diaspora Indonesia yang telah lebih dari 40 tahun tinggal di Inggris. Dalam diskusi tersebut aku menemukan sebuah konsep menarik tentang sebuah bentuk, yaitu kelopak bunga. Seingatku di sesi tersebut (2019) kita tidak secara spesifik membahas tentang sebuah “peran” tertentu. Akan tetapi di percakapanku via WhatsApp dengan beliau (ibu Ayleen Wisudha) beberapa pekan terakhir, kita sempat berbincang banyak hal, salah satunya tentang “peran”. Dan di sana kami bersepakat menarik kesimpulan bahwa manusia itu ibarat sebuah bunga.

Apa sih maksudnya?

Berbicara tentang “peran”, manusia tentunya tidak bisa dilepaskan dari berbagai peran yang tersemat di dalam dirinya. Entah dia sebagai seorang anak/adik/kakak tumbuh menjadi seorang murid, terus mengaktualisasi diri menjadi seorang mahasiswa, lalu bisa jadi saat menempa dirinya seseorang menjelma menjadi banyak peran dalam satu figur, seorang jurnalis (penulis), seorang aktivis sosial, seorang founder bisnis, seorang pemimpin suatu lembaga, seorang researcher, di sisi lain ternyata dia juga gemar melukis, berolah raga, dll, sehingga menyebabkan dia memiliki berbagai macam sisi dalam dirinya (multitalenta). Di lingkungan kerjanya, dia dikenal sebagai seorang pekerja yang ulet, tekun, dan optimis. Di lingkungan sosial dia dikenal sebagai orang yang vokal dalam menyuarakan kebenaran, pun juga orator ulung. Bahkan di lingkungan keluarga dia juga dikenal sebagai anggota keluarga yang membanggakan, tapi tetap patuh dan rendah hati.

Begitu pula dengan bunga, umumnya bunga terdiri atas kelopak bunga, mahkota bunga, putik, dan benang sari. Akan tetapi, kita hanya akan berfokus pada jenis bunga matahari sebagai analogi lain dari penjelasan di atas.

Sunflower | Photo by Matt Palmer on Unsplash

Bagian tengah dari bunga matahari bisa kita gambarkan sebagai manusia. Sedangkan bagian-bagian yang menempel dan tersemat di samping-samping bunga matahari adalah peran-peran yang kita miliki. Saat kuncup, bunga matahari mungkin hanya memiliki dua atau tiga bagian saja yang nampak, begitu pula manusia. Saat kecil peran yang bisa kita ambil mungkin hanya sebagai “anak” dari orang tua kita, atau sebagai “saudara” dari kakak atau adik kita. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, kita terus bertumbuh, ada berbagai peran yang tersemat pada diri kita. Entah peran-peran tersebut hadir melalui minat yang kita geluti, atau justru melalui jabatan yang kita emban di dalam pekerjaan, maupun kehidupan sosial masyarakat.

Lalu, bagaimana jika perlahan-lahan kita menua? Peran apakah yang seharusnya kita bawa untuk seterusnya? Bukankah bunga pun lambat laun akan merontokkan bagian-bagian yang melekat padanya satu per satu (sebelum akhirnya mati)?

Sebenarnya tak penting peran mana yang akan selalu melekat pada diri kita hingga tua, dan bahkan mati. Kita bisa tetap menjadi seorang penulis, seorang direktur, seorang profesor, seorang CEO, seorang presiden, seorang menteri, dsb. hingga akhir hayat. Akan tetapi, satu hal yang perlu diingat! Saat kita menua dan bahkan mati, peran-peran tersebut hanya akan dikenang oleh orang-orang yang bersinggungan dengan kita di scoop kehidupan mereka. Misalnya: karyawan kita akan mengenal kita sebagai seorang CEO, atau mahasiswa kita akan terus mengenang kita sebagai seorang profesor, dan bahkan mungkin pembaca buku tulisan kita akan terus mengenang kita sebagai seorang penulis. Artinya, manusia multitalenta pun hanya bisa memiliki satu “peran” spesial yang akan dikenal oleh sekelompok orang.

Lalu, bagaimana cara kita dikenang menjadi “seseorang” yang sama? Meski pernah menempati “peran” yang berbeda-beda?

Nilai (value) lah yang akan memberikan kita kesan sebagai “seseorang” yang sama meski “peran” yang kita tempati berbeda. Karena nilai biasanya melekat dengan tindakan dan kebiasaan yang kita lakukan. Tak hanya itu, bahkan nilai menjadi tolok ukur (standar) dari segala aktivitas yang akan kita lakukan, termasuk di dalamnya adalah pertimbangan yang akan kita ambil dalam memutuskan sesuatu. Nilai juga menjadi dasar bagi masyarakat untuk memberikan label apakah perbuatan kita layak dilakukan atau justru melanggar stereotype penilaian dalam masyarakat. (Ref: British Journal of Occupational Therapy, 1997, 60(3), 103-110).

Dengan nilai, kesamaan yang bisa saja muncul mungkin bukan dari “peran” kita, melainkan label lanjutan dari efek nilai yang kita anut. Misalnya: jika kita selalu berlaku jujur, peduli terhadap sesama, optimis, selalu bersungguh-sungguh, pun juga berlaku baik dalam segala tindakan yang kita lakukan, apapun “peran”-nya, maka bisa jadi orang akan mengenal kita sebagai “penulis yang menginspirasi” akibat optimisme yang kita tuangkan ke dalam tulisan kita. Atau “CEO yang humanis” sebagai manifestasi dari kepedulian kita terhadap sesama/karyawan kita. Dan label-label baik lainnya yang akan tersemat di belakang “peran” kita. Yang pada akhirnya orang lain akan mengenal kita lewat satu kata yang cukup, jika digunakan untuk mendeskripsikan kita dari “keseluruhan peran” yang kita miliki: Si A orang baik.

Bunga yang layu | Photo by Philipp Sewing on Unsplash

Sederhana, tapi mengena. Apapun “peran” kita, jika kita berhasil dikenal sebagai “pemilik peran” yang memiliki label positif, itu saja sudah lebih dari cukup. Bukankah indah sekali jika kita bisa lahir dengan membawa tawa untuk orang-orang di sekeliling kita, tapi justru membawa duka dan tangis yang mendalam ketika kita meninggalkan dunia? Yang artinya lewat “peran” kita selama hidup, membuat orang-orang mengenal kita sebagai manusia yang sulit untuk tergantikan. Hal itu efek dari nilai-nilai baik yang melekat dan kita sematkan di dalam tiap “peran” yang kita lakukan.

EPILOG

Kita bebas mengambil peran apapun dalam hidup, memiliki berbagai sisi dalam aktivitas apapun, pun juga berbagai title dalam jabatan yang kita emban. Tapi mari kita ingat satu hal, tiap-tiap peran yang kita miliki akan berakhir, bagian-bagian dalam peran itu akan rontok seiring berjalannya waktu, hanya nilai-nilai baik dan positif lah yang akan menentukan kualitas “pusat bunga” dalam diri kita.

Mari menjadi manusia yang lebih bernilai, apapun perannya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *