Talk about Marriage in “Critical Eleven” Random Review

PROLOG
Aku belum sempat sama sekali membaca novel Critical Eleven punya Ika Natassa, tapi entah mengapa kemarin (tulisan ini pertama kali dirilis pada bulan November 2017) tiba-tiba jariku dengan lancar menekan tuts keyboard dan mengetikkan dua kata dengan lancar dan tanpa jeda: Critical Eleven di kolom mesin pencari Google. Dan pada akhirnya mengarahkanku pada satu situs yang entah host-nya dari mana, menayangkan streaming film* Critical Eleven produksi Starvision Plus dan Legacy Pictures.

*sejujurnya ini merupakan tindakan tak patut yang tak boleh ditiru, tapi apa mau dikata, aku jelas tak bisa menonton film ini di bioskop Taiwan kan?

“Dalam dunia penerbangan biasa dikenal adanya 11 menit kritis, yaitu tiga menit setelah take off, dan delapan menit sebelum landing. Di mana pada critical eleven itulah 80% kecelakaan pesawat terjadi.”

Setidaknya itulah dialog yang terngiang di dalam pikiranku dan sempat kuingat, karena setelah kuubek-ubek mesin pencari lagi, aku tak menemukan tautan streaming yang kutonton kemarin. Niatnya adalah untuk amunisi menulis random malam ini (ya, ini random, karena kulihat tulisan terakhir di blog ini ada di kisaran tanggal 20an September 2017, makanya aku mencoba melemaskan jari-jari tangan ini lagi setelah beberapa hari berkutat dengan jadwal presentasi dengan perusahaan yang akan  kulakukan esok hari), akan tetapi ternyata tautannya hilang, alhasil kucoba ingat-ingat saja apa yang kemarin kusaksikan.

Ilustrasi tentang pesawat.
Gambar ini diambil dari akun Chevanon Photography (license: All photos on Pexels can be used for free)

Entah mengapa film ini menjadi film kedua yang membuatku membuka mata bahwa aku sudah tak kecil lagi. Bahkan masa remajaku telah terlewati hampir tiga tahun lalu. Karena definisi remaja menurutku adalah ketika usia dua puluh tahun berakhir, berdasarkan segala macam perkembangan fisik dan psikis yang kuanalisis sendiri secara unofficial.

Eh, btw memangnya yang pertama film apa?

Yang pertama ada film yang juga didasarkan pada novel, tak lain dan tak bukan adalah novel karya Aditya Mulya berjudul Sabtu Bersama BapakSabtu Bersama Bapak adalah novel pertama pemberian Tira Kurnia Saputri, yang ia hadiahkan padaku saat kutantang dengan sebuah prosesi engagement menjelang aku berangkat ke Taiwan, saat itu di akhir tahun 2015. Tak lebih dari empat jam novel itu telah mampu menamparku dengan sebuah pesan-pesan sarat makna lengkap dengan visualisasi yang berhasil kuciptakan sendiri dalam pikiran dan imajinasiku: bahwa MENIKAH ITU BUKAN HAL MUDAH, dan memang ada tiga hal yang diserahkan perempuan kepada seorang lelaki saat ijab selesai diucapkan:

“Saya pilih kamu, tolong pilih saya untuk menghabiskan sisa hidup kamu, dan saya akan menghabiskan sisa hidup saya bersama kamu. Percayakan hidup kamu sama saya dan saya penuhi tugas saya padamu, nafkah lahir dan batin. Pindahkan baktimu, tidak lagi baktimu kepada orangtuamu, baktimu sekarang pada saya.”

Kutipan pesan dalam novel Sabtu Bersama Bapak

Setidaknya itu satu hal yang berhasil meredakanku untuk tidak salah langkah dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan serta perhitungan dalam melanjutkan kehidupan, khususnya kehidupan berumah tangga.

Oke, selanjutnya yang kedua adalah film ini: Critical Eleven. Karena posisinya aku belum pernah membaca novelnya, jadi aku hanya menuliskan hal-hal yang menurutku sarat makna based on filmnya, juga berdasarkan alur ke-random-an ceritaku malam ini.

Di awal film ini Anya yang bertemu secara tak sengaja dengan Ale di pesawat setelah insiden kehilangan mainan dinosaurus mini milik Anya dan juga adegan Ale meminjamkan sapu tangan kepada Anya, Anya sempat bergumam dalam hati bahwa setidaknya critical eleven ini bisa juga berlaku pada sebuah perkenalan. Yaitu tiga menit awal saat pertama kali berinteraksi, serta delapan menit akhir menjelang perpisahan. Di mana dari critical eleven itu konon seseorang mampu menyandarkan sebuah landasan akan seperti apa hubungan mereka pasca pertemuan itu. “Bisa jadi berakhir begitu saja, atau berlanjut menjadi sebuah hubungan indah di masa depan,” kira-kira begitu kutipan kata-kata Anya yang kuingat.

Keputusan Anya dan Ale untuk menikah dan saling bergantung satu sama lain menjadi awalan menuju liku-liku kehidupan rumah tangga mereka. Anya yang harus meninggalkan pekerjaan, teman-teman, dan bahkan keluarganya demi ikut suami: “Ke manapun kamu pergi aku ikut! Kamu rumahku!” katanya pada Ale saat mereka menyaksikan kelap kelip lampu Manhattan (NYC, USA) melalui jendela apartemen mereka. Gambaran romantisme mereka tervisualisasi jelas melalui adegan ciuman, pelukan, dan berbagai macam gesture lainnya yang jelas menampakkan luapan cinta mereka satu sama lain pasca pernikahan.

Hingga akhirnya tantangan mereka datang bersamaan dengan kabar bahwa Anya hamil.

Nah, hamil kok tantangan?

Ya, karena di kehamilan Anya yang pertama inilah yang menjadi rumitan masalah utamanya dari film ini. Apalagi setelah anak mereka harus tiada setelah dilahirkan.

“Menguburkan anak dengan tangan sendiri itu suatu kesedihan yang mendalam bagi orang tua,” ujar ibu Ale menasehati Anya (sekali lagi, setidaknya itu yang kuingat saat menuliskan jajaran kalimat-kalimat random malam ini).

Belum lagi bayang-bayang orang ketiga yang datang tiba-tiba, ah semakin lengkap tantangan kehidupan rumah tangga mereka. Ya, tiga tahun pernikahan Anya dan Ale menjadi gambaran mengerikan bagi cobaan dan rintangan dalam sebuah relaita take off yang mereka jalani.

Film ini sedih dong ya berarti?

Entahlah, menurutku di awal iya. Tapi ending-nya bahagia kok, selaras dengan judulnya: di mana delapan tahun setelah tantangan tiga tahun itu berakhir, kehidupan mereka “bisa jadi” bahagia dengan warna baru dari lahirnya buah hati mereka selanjutnya. That’s the meaning of Critical Eleven from their marriage.

Jadi kesimpulanmu untuk tulisan malam ini?

Tak ada kesimpulan, hanya saja film kedua yang berhasil membekas di pikiranku tentang kehidupan pasca menikah ini (si Critical Eleven) menjadi salah satu film favorit setelah Sabtu Bersama Bapak (kalau ini sebenarnya lebih favorit novelnya sih). Bukan karena jalan ceritanya, atau juga judulnya yang sama persis seperti novel yang diadaptasi, akan tetapi lebih ke arah pembelajaran tentang (sekali lagi) MENIKAH ITU BUKAN HAL MUDAH. Perlu banyak sekali pertimbangan matang dan perhitungan yang tak biasa yang harus dilakukan, bahkan melebihi prosesi perhitungan termodinamika, kinetika, dan mungkin juga perhitungan Newton saat memecahkan konsep inersia.

Meski tetap saja landasannya adalah:

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan nikahkanlah orang-orang yang masih lajang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. An Nuur: 32)

EPILOG
Jadi, udahan nih nulis random-nya?
Udahan ah, kalau keterusan dan kepanjangan takut dikira galau, padahal sih cuma mau kasih pandangan kepada semua pembaca aja, bahwa MENIKAH ITU BUKAN HAL MUDAH. Butuh perhitungan dan persiapan matang sebelum benar-benar di-take off-kan (meski penulis juga belum pernah menikah sih ya, tapi kan ada yang bilang menasehati nggak perlu sempurna dulu kan?). Atau kalau kata Aditya Mulya (Sabtu Bersama Bapak) lagi:

“Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid, yang sama-sama kuat, bukan yang saling mengisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing orang, bukan tanggung jawab orang lain.”

Jadi, bukankah lebih keren jika kita (terutama sebagai lelaki) menguatkan diri* dulu sebelum pada akhirnya bisa menjadi imam bagi istri-istri (eh) kita kelak?

*menguatkan diri dari segi kedewasaan berpikir, mawas diri dalam mempertimbangkan segala sesuatu, dan mampu menunjukkan kematangan bertindak dalam setiap aksi atau manuver apapun yang akan dilakukan dalam hidup.

Taiwan, 11 November 2017
#KotakAjaib

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *