Halo wise-reader sekalian! Gimana puasanya tahun ini? Semoga selalu lancar dalam aktivitas keseharian pun juga ibadahnya ya. Oh iya, sejenak bergeser dari penatnya pemberitaan tentang pemerintahan dan segala carut-marutnya. Kali ini kita akan membahas sesuatu yang berkaitan dengan teknologi. Bahkan bisa dibilang ulasan kali ini boleh dijadikan sebagai landasan untuk self-assessment bagi para pelaku bisnis bidang teknologi (technopreneur).
Bersumber dari lembaga antariksa

Dari konsepan milik NASA di atas, selanjutnya diadopsi oleh berbagai organisasi, lembaga, dan industri di dunia. Gunanya untuk menentukan tingkatan dari kesiapan teknologi di berbagai produk. Ada cuplikan menarik dari artikel yang berjudul Technology readiness levels: Shortcomings and improvement opportunities. Pada referensi asal yang dibuat oleh NASA, istilah “teknologi” ini secara umum mengacu ke konsep triple helix. Komponen-komponen di dalam teknologi mencakup ketersediaan (1) material baru, (2) skala adopsi dan pemanfaatan, hingga (3) kesiapan. Kesiapan untuk apa? Untuk digunakan dalam kegiatan penelitian dan pengembangan lanjutan. Sehingga tak heran kalau adanya teknologi baru selalu bergantung pada penemuan material jenis baru hasil penelitian para scientist/engineer.
Adopsi ke aplikasi yang lebih luas
Ada lagi studi menarik yang digawangi oleh Cindy Woods dari University of Canberra, Australia (2024). Tulisannya berjudul Adaptation of the technology readiness levels for impact assessment in implementation sciences: The TRL-IS checklist. Setidaknya dari tingkat kesiapan teknologi (technology readiness level atau TRL) 1 sampai 9 dapat dijabarkan secara praktis sebagai berikut:
- TRL 1 adalah prinsip dasar.
- TRL 2 adalah pengetahuan dasar yang sumbernya dari TRL 1 yang telah diformulasikan menjadi teori dan konsep tertentu.
- TRL 3 adalah pembuktian konsep yang ada di TRL 2 lewat eksperimen.
- TRL 4 masuk proses pembuatan purwarupa (prototype) dari hasil pembuktian di TRL 3.
- TRL 5 merupakan prototype yang dihasilkan di TRL 4, yang telah terbukti “dapat dibuat” dan berfungsi.
- TRL 6 adalah pengujian prototype yang berfungsi baik dari TRL 5 untuk diaplikasikan pada berbagai “variasi lingkungan terkontrol”.
- TRL 7 sifatnya adalah demonstrasi luaran dari TRL 6 pada “lingkungan tak terkontrol”. Atau kalau mobil bisa dibilang sudah masuk tahapan test-drive on the road.
- TRL 8 adalah memastikan kualitas produksi dari hasil TRL 7 siap untuk dirilis ke pasar. Hal tersebut juga harus didukung kesiapan produksi massal sesuai standar.
- TRL 9 telah masuk ke tahap “output dari TRL 8″ siap di-launching ke pasar sebagai produk akhir.
TRL 1 sampai 4 secara umum berupa tingkatan (a) konsep hingga pembuatan purwarupa yang dilakukan di dalam laboratorium. Lalu untuk TRL 5-6 adalah tingkatan (b) simulasi pada berbagai kondisi yang diinginkan dengan lingkungan terkontrol. Hal itu biasa disebut tahap “masuk ke pilot line“. Sedangkan untuk TRL 7 (demonstrasi) dan TRL 8-9 (peluncuran produk) biasa dikategorikan sebagai tingkatan (c) proses pra-produksi hingga operasional. Kalau pengelompokannya ingin disederhanakan lagi, tingkatan (a) dan (b) masuk dalam klasifikasi inisiasi (TRL 1-6). Sedangkan tingkatan (c) diklasifikasikan sebagai implementasi (TRL 7-9).
Tantangan di ‘lembah kematian’

Dari gambar tersebut secara tersirat tampak bahwa TRL 1-3 ada andil besar universitas/lembaga riset dengan funding utama dari pemerintah. Karena itu berupa riset primer yang memperkuat fundamental menjelang aplikasi. Sedangkan TRL 8-9 sudah merupakan tugas dari korporasi besar dengan pendanaan non-publik. Karena pengembangan lanjutan sudah wajib melibatkan end user (pemakai teknologi/produk). Dan pemakai biasanya erat dengan produk-produk yang telah diluncurkan oleh korporasi besar. Nah, the valley of death ini ada di TRL 4-7. Aktivitasnya lebih sering dipegang oleh gabungan universitas/lembaga riset/organisasi litbang pemerintah bersama small and medium-sized enterprises (SMEs) atau perusahaan rintisan. Dengan pembiayaan hibrida yang melibatkan dana publik milik pemerintah dan juga sebagian funding non-publik (bisa dari investor).
Mengapa TRL 4-7 menjadi the bottleneck atau lembah kematian? Karena biasanya ada beberapa faktor:
- Tantangan produk: Dituntut lebih baik, lebih aplikatif, tapi juga lebih layak produksi massal dibanding dari TRL 3. Meski belum bisa sebaik ketika masuk tahap TRL 8.
- Tantangan bisnis: Dituntut untuk sudah mampu mengestimasi harga produksi yang lebih murah. Proses yang lebih cepat dan high-troughput dengan return of investment (ROI) tinggi juga harus dipertimbangkan. Padahal wujudnya masih berupa purwarupa yang diuji di lingkungan terkontrol.
- Tantangan inovasi: Tuntutan adanya kepastian produk yang “lebih” dibandingkan pendahulunya/kompetitor. Perlu adanya aktivitas riset pasar yang intensif untuk mendapatkan umpan balik dari calon pengguna teknologi/produk.
- Tantangan proses: Ini melibatkan keseimbangan. Di satu sisi universitas/lembaga riset tidak memiliki cukup dana untuk melanjutkan lebih dari TRL 3. Sedangkan korporasi besar tidak punya cukup waktu dan ketertarikan untuk melakukan aktivitas di bawah dari TRL 8. Sebabnya ya karena keberadaan tantangan-tantangan sebelumnya.
Kesimpulan dan Epilog
Itulah mengapa untuk sebagian besar negara maju dengan industri-industri yang telah mapan dan besar biasanya cukup mudah membuat national blueprint. Sehingga keberadaan research-based product bisa tercipta. Apalagi kalau didukung oleh pemerintah yang mendukung inovasi teknologi lewat penerapan meritokrasi yang baik. Yang imbasnya, “orang ahli” akan ditempatkan sesuai porsi dan tempat mengikuti kapasitas dan kapabilitasnya. Dana publik hasil pajak rakyat digunakan sepenuhnya untuk tujuan kemaslahatan dan kemajuan teknologi dalam negeri.
Dan sebaliknya, negara-negara prasejahtera maupun negara berkembang punya tantangan tersendiri. Apalagi jika kondisi pemerintahnya belum bisa mendukung inovasi, akan sulit untuk mengikuti alur TRL ini secara sistematis. Boro-boro membuat national blueprint, memenuhi kebutuhan primer dan sekunder rakyatnya saja masih tersengal-sengal. Belum lagi maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Rasanya harapan memiliki research-based product yang mumpuni tanpa campur tangan pengaturan negara lain akan ‘jauh panggang dari api’.
Oh iya, selain TRL sebenarnya masih ada beberapa istilah-istilah lain lagi. Seperti diantaranya: societal readiness level (SRL), organisational readiness level (ORL), serta legal readiness level (LRL). Yang kalau digabungkan, TRL-SRL-ORL-LRL bisa diolah lebih jauh menjadi four-axis framework. Tentunya 3-RL terakhir masuk ke dalam kategori non-technological dimensions of the framework. Kalau tertarik, silakan mampir ke ulasan berikut: Technology Readiness revisited: A proposal for extending the scope of impact assessment of European public services.
Semoga bermanfaat!
Leave a Reply